Awalnya Menampung Siswa Buangan, Akhirnya Berbagi Praktik Baik di Level ASEAN

Ketelatenan mempelajari dan mengikuti panduan Kurikulum Merdeka secara bertahap membuat seorang kepala sekolah di Papua Barat Daya berhasil merubah keadaan.

Menambah inspirasi di dalam arahannya seputar pengangkatan guru penggerak menjadi kepala dan pengawas sekolah, Dirjen PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek Iwan Syahril menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke sebuah sekolah swasta di Papua Barat Daya

Awalnya (kurang lebih 3 tahun yang lalu) sekolah tersebut masih dikategorikan sebagai sekolah buangan. SMP itu hanya memiliki 4 kelas dan jumlah siswanya sedikit.

“Kalau orang tua pilih sekolah di situ, berarti anaknya udah drop out atau bermasalah, nggak diterima di sekolah-sekolah lain, dari pada nggak sekolah,” ungkap Iwan di rapat kerjanya bersama Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Timur pada Rabu (6/2/2024).

Karakter para orang tua dari anak-anak tadi, ditunjukkannya juga sangat keras. Bila ada diantara anak-anak mereka yang tidak naik kelas maka tak segan-segan mereka datang ke sekolah sambil membawa parang (senjata tajam)

Untungnya sekolah tadi memiliki kepala sekolah yang memimpin dan bergerak dengan hati untuk merubah keadaan tersebut.

Memanfaatkan Kurikulum Merdeka dan PMM (Platform Merdeka Mengajar) sebagai toolnya, meski dibarengi dengan berbagai keterbatasan seperti kualitas internet yang kurang memadai (kecepatannya naik turun), ia terus berupaya keras dengan berprinsip “Tak ada rotan akar pun jadi”.

“Dia coba kemudian bentuk komunitas belajar seperti yang kita minta, dia ikuti. Karena dia memang ingin sekolah itu berubah. Anak-anaknya bisa menjadi anak-anak yang penuh harapan,” tutur Iwan.

Pembelajaran yang bermakna

Melihat kondisi masyarakat sekitar yang krisis terhadap air bersih, sang kepala sekolah berhasil menggerakkan para siswa di sekolah itu berkolaborasi mencari solusinya dengan membuat filter air yang akhirnya menjadi proyek P5 mereka dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mendapatkan air bersih

Sejak itulah, selain siswa-siswanya menjadi percaya diri dan lebih bersemangat untuk belajar, saat ini masyarakat sekitar menganggap sekolah tersebut keren dan selalu menunggu proyek-proyek baru lainnya dari sekolah itu.

Mendengar secara langsung praktik baik itu, Iwan mengaku salut dengan transformasi yang luar biasa di sekolah minim fasilitas tersebut.

Alhasil, sekolah itu termasuk sebagai sekolah yang turut megirim siswanya mengikuti olimpiade sains tingkat nasional. “Anak yang tadinya itu loh yang berandal yang dibuang dari banyak sekolah itu,” pungkas Iwan.

Tak hanya itu, sejak mengalami transformasi, para guru di sekolah itu kerap diminta  menjadi nara sumber praktik baik oleh sekolah-sekolah lain di sana, bahkan yang statusnya adalah sekolah favorit.

“Terus guru-guru dari pulau-pulau sekitar nyebrang ke situ. Bukan berkunjung sehari lalu pulang. Mereka tinggal 3 hari sampai 1 minggu untuk melihat bagaimana guru-guru di situ melakukan transformasi pembelajaran dengan kondisi yang penuh keterbatasan,” jelas Iwan bangga.

Berbagi praktik baik di level ASEAN

Berkat itu semua, sang kepala sekolah akhirnya berkesempatan untuk sharing pengalamannya tadi di forum ASEAN yang dihadiri oleh para delegasi negara angota ASEAN.

Hebatnya, salah satu delegasi, diungkapkan Iwan, penasaran dengan transformasi itu dan ingin berkunjung melihat secara langsung apa yang dilakukan sang kepala sekolah untuk keluar dari krisis pembelajaran.

“Dan tahu nggak negaranya apa? Singapura. Bukan ke Jakarta, bukan ke Bandung, bukan ke Surabaya. Tapi Singapura ingin studibanding ke Papua Barat Baya,” tandasnya.

Melalui ceritanya itu, Iwan ingin menekankan, pemimpin pembelajaran yakni kepala sekolah sangat menentukan kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa di sekolah.

“Bebas dari krisis pembelajaran, modalnya hanya kepala sekolahnya yang oke dan memanfaatkan daya dukung dari apa yang kita sudah provide walaupun dengan kondisi yang terbatas,” tegasnya.

Jadi pemimpin itu menjadi kunci. Secara lugas Iwan mengatakan, sekolah membutuhkan pemimpin penggerak perubahan yang fokus ke pembelajaran. Bukan yang difokuskan ke administrasi lagi.

Dengan memiliki pemimpin yang berprofil seperti itu, situasi layanan pendidikan yang minim kualitas dan penuh dengan keterbatasan akan mampu berubah menjadi sebuah layanan pendidikan yang luar biasa transformatif bagi para siswanya.

Masih dari Timur Indonesia

Selain menceritakan kisah inspiratif dari Papua Barat Daya, Iwan juga bercerita kisah tak pantang menyerah para guru di Maluku Tenggara tepatnya di kota Tual.

Beratnya medan yang ditempuh para guru di wilayah itu dalam menjalin kolaborasi dengan guru-guru lain di sekitarnya tak membuat mereka ciut untuk bergerak bersama memperbaiki kualitas pembelajaran.

Menurut Iwan, dengan pendapatan yang sangat kecil sebagai guru, mereka adalah salah satu yang paling militan yang pernah ditemuinya.“Itu kalau mau kolaborasi segala macam harus nyebrang pulau dan itu mahal. Tapi mereka tidak patah semangat,” salutnya ke komunitas guru tersebut.

Untuk kepala sekolah di Papua Barat Daya tadi, justru saat ini banyak berkontribusi membantu pemerintah daerahnya. “Itulah prototipe profil pemimpin sekolah yang kita butuhkan dan yang menjadi dasar dari perubahan,” imbuhnya.

Walaupun di situasi yang sulit dan serba terbatas, mereka tetap bergerak, berkolaborasi dan melahirkan inovasi-inovasi melawan krisis pembelajaran. “Itu yang ingin kita munculkan dari prototipe-prototipe dalam pendidikan guru penggerak,” tutur Iwan sambil mengakhiri arahannya tentang pengangkatan guru penggerak menjadi kepala dan pengawas sekolah. (Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

Bagikan Tulisan