Cara negara-negara seperti Tiongkok, Singapura, India, Korea Selatan, dan Australia mengajarkan keterampilan koding (pemrograman) dan kecerdasan artifisial (AI) di tingkat pendidikan dasar dan menengah membuahkan beberapa pelajaran penting.
Dengan memperhatikan bagaimana proses pembelajaran teknologi ini diterapkan di sekolah-sekolah mereka, kita bisa memahami pendekatan, strategi, dan kebijakan yang telah mereka jalankan untuk menyiapkan generasi muda menghadapi era digital yang semakin kompleks.
Setiap negara tersebut memiliki pengalaman dan metode masing-masing dalam mengintegrasikan koding dan AI ke dalam kurikulum sekolah, dan dari praktik-praktik itu muncul 5 hal utama yang bisa kita pelajari dan jadikan inspirasi.
Yang pertama, di berbagai negara, pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KA) telah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah secara resmi. Artinya, kedua bidang itu kini diajarkan secara sistematis kepada siswa di lingkungan sekolah formal.
Pendekatan tiap negara dalam mengintegrasikan materi koding dan KA ke dalam pembelajaran cukup beragam. Singapura dan Korea Selatan, misalnya, memilih untuk menggabungkan materi koding dan KA ke dalam mata pelajaran yang sudah ada, seperti ilmu komputer, teknologi informasi, matematika, dan sains. Jadi, siswa mempelajari konsep-konsep koding dan KA sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pelajaran-pelajaran tersebut.
Sebaliknya, beberapa negara lain mengajarkan koding dan KA sebagai mata pelajaran tersendiri. Model ini bisa ditemukan di Tiongkok dan beberapa negara bagian di India, di mana koding dan KA berdiri sendiri sebagai mata pelajaran yang khusus dipelajari oleh siswa, terpisah dari pelajaran lain.
Yang kedua, pembelajaran terkait koding dan kecerdasan artifisial (KA) mulai diterapkan sejak tingkat pendidikan dasar hingga ke jenjang menengah. Proses penerapannya tidak dilakukan sekaligus, melainkan melalui tahapan yang terstruktur dan berjenjang.
Tahapan tersebut dimulai dari memperkenalkan siswa pada konsep dasar koding dan KA terlebih dahulu. Setelah itu, mereka dikenalkan pada berbagai tools atau perangkat serta alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran teknologi ini.
Selanjutnya, siswa mulai diarahkan untuk memahami instruksi-instruksi atau bahasa pemrograman yang menjadi dasar dalam dunia koding.
Di tahap berikutnya, pembelajaran difokuskan ke penerapan konsep tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari, yaitu melalui pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) yang menekankan pada kemampuan siswa dalam memecahkan masalah nyata dengan menggunakan keterampilan koding dan KA yang telah mereka pelajari.
Yang ketiga, pembelajaran pemrograman komputer dan kecerdasan artifisial (KA) disusun secara sistematis (terstruktur) dan menjadi bagian penting dari kompetensi utama yang harus dikuasai oleh para siswa.
Di sejumlah negara, tujuan pembelajaran dirancang dengan sangat spesifik agar menghasilkan lulusan yang memiliki capaian dan keahlian tertentu. Misalnya, di negara Tiongkok dan India, pembelajaran koding dan KA tidak hanya diarahkan agar siswa mampu menggunakan teknologi, tetapi lebih jauh lagi agar mereka menjadi inovator yang menciptakan teknologi baru di masa depan.
Selain itu, penguasaan siswa terhadap aspek etika dalam penggunaan teknologi juga menjadi salah satu fokus utama dalam capaian pembelajaran. Contohnya, negara-negara seperti Australia dan Singapura menempatkan pemahaman tentang etika berteknologi sebagai target penting yang harus dicapai oleh siswa selama proses belajar.
Poin keempat menyoroti pentingnya dukungan kebijakan agar proses implementasi pembelajaran dapat berjalan secara optimal.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran krusial untuk memastikan bahwa berbagai elemen penting harus sudah siap sebelum program pembelajaran diterapkan di sekolah-sekolah.
Beberapa aspek yang menjadi perhatian utama antara lain adalah tersedianya infrastruktur digital yang memadai, akses internet yang mencukupi, peningkatan kompetensi guru, ketersediaan buku panduan atau perangkat pembelajaran, serta berbagai bentuk dukungan teknis lainnya.
Contoh konkret dapat dilihat dari langkah-langkah yang diambil oleh sejumlah negara. Di Korea Selatan, Tiongkok, dan Singapura, pemerintah secara aktif menyediakan buku teks maupun panduan pembelajaran yang dirancang khusus untuk materi koding dan kecerdasan artifisial (KA).
Selain itu, ketiga negara tersebut juga berinvestasi dalam penyediaan infrastruktur agar setiap sekolah memiliki perangkat teknologi dan akses internet yang layak guna mendukung proses belajar-mengajar berbasis digital.
Secara khusus, pemerintah Tiongkok meluncurkan program bernama Lab Smart Classroom, yang bertujuan untuk mendukung sekolah-sekolah dalam mengembangkan pembelajaran di bidang STEM—yakni science (sains), technology (teknologi), engineering (rekayasa), dan mathematics (matematika). Program ini merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam memperkuat penguasaan teknologi sejak jenjang pendidikan dasar.
Sementara itu, India menempuh pendekatan yang berbeda namun tetap mengarah pada tujuan yang sama. Pemerintah India menyediakan sebuah platform pembelajaran digital yang terbuka dan dapat diakses oleh guru, siswa, maupun orang tua. Melalui platform ini, mereka dapat mengakses berbagai materi pembelajaran secara daring.
Selain itu, India juga menyediakan program Massive Open Online Courses (MOOC) sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi guru serta memberikan pelatihan kepada masyarakat luas di bidang koding dan kecerdasan artifisial.
Poin kelima yang perlu diperhatikan adalah pentingnya menyiapkan kompetensi guru yang akan mengajarkan mata pelajaran koding dan kecerdasan artifisial (KA). Hal ini merupakan faktor yang sangat krusial.
Berdasarkan temuan dari Korea Selatan, diketahui bahwa tidak semua guru memiliki kemampuan yang memadai untuk merancang kurikulum pembelajaran yang berkaitan dengan KA atau untuk mengintegrasikan materi KA ke dalam proses belajar-mengajar di kelas mereka. Situasi ini terutama terlihat pada guru-guru yang belum pernah mendapatkan pendidikan formal di bidang KA sebelumnya.
Keterbatasan tersebut menciptakan tantangan tersendiri di ranah pedagogis. Para guru sering mengalami kesulitan dalam merancang strategi pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa untuk berinteraksi, bekerja sama, dan belajar tentang dan bersama KA secara efektif. Bahkan, mereka juga mengalami kendala dalam menyesuaikan metode pembelajaran dengan tingkat usia atau kemampuan siswa, yang menjadi aspek penting dalam proses pendidikan.
Oleh karena itu, persoalan yang berkaitan dengan kapasitas dan kompetensi guru ini harus mendapatkan perhatian serius.
Jika pembelajaran koding dan KA benar-benar ingin diterapkan di sekolah, maka berbagai aspek mengenai kesiapan tenaga pengajar perlu dipersiapkan secara matang agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan optimal.
(Sumber: Naskah Akademik Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial di Pendidikan Dasar dan Menengah/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)