Taman bermain dengan pojok matematika, pojok bahasa, pojok tenang, dan dapur lumpur? Di Bossuit, sebuah desa kecil di wilayah Avelgem dekat perbatasan bahasa, terdapat taman kanak-kanak De Buitenkans. “Mulai sekitar bulan April hingga Oktober, kami hampir sepanjang hari berada di luar ruangan,” kata kepala sekolah Angélique Buyck. “Dengan begitu, anak-anak bisa melihat, mencicipi, merasakan, dan mencium langsung alam di sekitar mereka.”
Saat Angélique mulai menjabat sebagai kepala sekolah, hal pertama yang ia lakukan adalah membongkar permukaan beton di area bermain. “Bagi banyak orang, alam itu sesuatu yang ada di luar, sedangkan kehidupan terjadi di dalam ruangan,” jelasnya. “Tapi kami melihat bahwa anak-anak justru berkembang lebih baik saat berada di alam: Mereka jarang sakit, lebih tahan banting, lebih mampu bekerja sama, dan perkembangan motoriknya juga terbantu.”
Suasana di taman kanak-kanak ini sangat tenang. Anak-anak saling memperlakukan dengan lembut. “Anak yang terjatuh akan bangkit sendiri atau dibantu oleh temannya,” kata Angélique. “Itu memang sudah biasa kami lihat, tapi kemandirian juga bagian penting dari proses belajar.”
Jalur pembelajaran individu
Di belakang gedung sekolah, kini terdapat taman bermain dan belajar yang hijau, yang dibagi oleh Angélique dan guru Hanne menjadi 15 area atau “pojok”. Mulai dari taman hewan hingga kebun sayur, dari pojok teknologi hingga pojok dunia.
“Kami membuat 1 pojok untuk setiap tujuan utama dalam perkembangan anak usia dini,” jelas Angélique. “Jadi, jika anak-anak bermain dan menjelajahi semua pojok itu secara mandiri, sebenarnya mereka sudah mencapai tujuan pembelajaran akhirnya.”
Setiap pagi sebelum kegiatan belajar dimulai, anak-anak membantu menyiapkan pojok-pojok tersebut sendiri. “Kami menganggap kemandirian itu penting,” tambah Angélique.
Sebanyak 18 balita dan anak prasekolah dari berbagai usia tergabung dalam 1 kelompok kelas besar. “Kami bisa mengikuti perkembangan setiap anak secara individual lewat beragam aktivitas luar ruang,” kata Angélique.
“Ketika seorang anak belajar naik sepeda, kemampuan berbahasa atau berhitungnya mungkin sedikit tertinggal sementara. Perkembangan anak-anak usia dini memang terjadi dalam gelombang, dan berbeda satu sama lain.”
Maksudnya: Saat seorang anak sedang fokus mengembangkan satu kemampuan (misalnya belajar naik sepeda yang melatih keterampilan motorik), kemampuan lain seperti bahasa atau berhitung mungkin tidak berkembang secepat itu untuk sementara waktu. Ini karena perkembangan anak tidak terjadi secara merata atau sekaligus, melainkan bergelombang dan berbeda pada tiap anak—kadang mereka lebih cepat di satu bidang, lalu bergantian dengan bidang lain. Dengan kata lain, anak-anak berkembang sesuai ritme masing-masing, dan fokus mereka bisa bergeser dari satu area ke area lain, yang semuanya tetap merupakan bagian dari proses belajar yang alami dan sehat.
Anak-anak juga belajar dari teman-temannya yang lebih besar dalam kelompok campuran ini.
“Dengan menghormati kecepatan belajar masing-masing anak, kami bisa menyesuaikan pendekatan sesuai kebutuhan individu,” tutup Angélique.
Memakai sepatu bot ke sekolah
Namun bahkan di Bossuit, pagi hari di bulan April masih terasa dingin saat kelompok kelas mulai belajar di luar ruangan.
“Kami melihat bahwa di awal, para orang tua sering harus keluar dari zona nyaman mereka dengan membiarkan anak-anak berada di luar seharian,” kata kepala sekolah. “Ada juga orang tua yang tidak suka jika anak mereka pulang dengan baju kotor.”
Untuk itu, sekolah mengadakan sesi informasi tentang bagaimana pelajaran luar ruang dijalankan. “Kami jelaskan bahwa setiap anak perlu membawa sepatu bot anti air dan jaket yang bagus untuk kegiatan luar ruangan,” ujar Angélique.
“Pakaian seharusnya tidak menjadi alasan anak-anak tidak bisa bermain, kan?”
“Setiap bulan kami mengadakan kegiatan luar sekolah, ke peternakan, mengunjungi pelaku usaha lokal, atau jalan-jalan ke kota Avelgem,” lanjutnya.
“Setiap 2 tahun, kami bahkan mengadakan kelas alam semalam di hutan—dan tentu saja, itu sudah luar biasa untuk anak-anak seusia ini.”
Selain itu, secara berkelompok, anak-anak juga sering bermain dan belajar di area hutan kecil yang letaknya tak jauh dari sekolah.
Sekolah sebagai pusat kegiatan komunitas
Angélique sudah mengenal pembimbing MOS, Joke Oosterlijnck, sejak ia mengajar di sekolah sebelumnya.
“Di sini pun, berkas MOS cepat selesai berkat kerja sama dengan Joke,” kata Angélique. “Begitu berkas disetujui oleh MOS, secara otomatis disetujui juga oleh pemerintah kota untuk mendapatkan pendanaan.”
Maksudnya: Berkas MOS merujuk pada semua dokumen, rencana aksi, atau proposal yang diajukan oleh sekolah kepada pihak MOS sebagai bagian dari upaya mereka menjadi sekolah yang lebih hijau dan terlibat dalam pendidikan lingkungan. Setelah disetujui oleh MOS, proposal ini bisa jadi dasar untuk mendapatkan dukungan atau pendanaan dari pemerintah kota.
Selain itu, ada Johan, seorang ahli biologi, yang membantu memeriksa tanaman mana saja yang cocok atau tidak untuk taman sekolah.
Ada juga Tatyana dan Guyllian, staf dari organisasi jejaring sosial Ubuntu, yang ikut membantu di sekolah.
Organisasi jejaring sosial Ubuntu: Organisasi yang membangun koneksi dan kerja sama antarindividu atau kelompok dalam masyarakat untuk saling mendukung, termasuk membantu kegiatan di sekolah seperti De Buitenkans. Mereka bukan hanya organisasi amal, tapi lebih ke arah penggerak komunitas yang fokus pada keterlibatan sosial, inklusi, dan pembangunan bersama—sering kali dengan pendekatan partisipatif.
“Sekolah harus bisa memberi kontribusi bagi komunitas,” ujar Angélique, “dan kami punya ruang untuk itu: Selama libur Paskah dan musim gugur, kami membangun perkemahan di halaman sekolah bersama organisasi vzw De Kampenbouwer.”
Organisasi vzw De Kampenbouwer: Organisasi nirlaba yang menyelenggarakan kegiatan membangun perkemahan bermain (play camps) untuk anak-anak, sering kali dengan pendekatan kreatif, kolaboratif, dan berbasis alam. Dalam konteks sekolah De Buitenkans, mereka bekerja sama selama liburan Paskah dan musim gugur untuk membangun kamp-kamp bermain di area taman sekolah, memberi anak-anak pengalaman belajar yang menyenangkan dan aktif di luar ruangan.
“Ketika berita pertama soal virus corona mulai muncul, beberapa orang tua dan lansia datang ke sekolah untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi,” kenang Angélique. “Dan inilah yang saya maksud saat saya bilang bahwa sekolah kami bukan hanya tempat belajar, tapi juga bagian dari masyarakat.”
Pembelajaran berbasis pengalaman dengan tujuan yang Jelas
“Setiap hari kami merencanakan aktivitas dengan beberapa tujuan pembelajaran,” tambah guru Hanne, “tapi kalau misalnya ada anak yang menemukan kupu-kupu, kami langsung memanfaatkan momen itu untuk belajar mengenalinya lewat tabel pengenalan.”
Dengan pendekatan seperti ini, setiap pengalaman dianggap sebagai kesempatan belajar.
Saat berjalan-jalan di luar, guru Hanne bertanya kepada kelompok anak-anak: “Boleh tidak kita makan buah beri ini?” Dan anak-anak pun menjawab serempak: “Tidak boleh!”
Isi pelajaran luar ruang sepenuhnya mengacu pada kurikulum sekolah Katolik ZILL: Zin in leren! Zin in leven! (Semangat untuk Belajar! Semangat untuk Hidup!)
Setiap kegiatan mencakup pengembangan pribadi (misalnya, kerja sama) sekaligus pengembangan budaya (seperti geografi atau pemahaman alam).
“Untuk Hari Ibu, kami membuat minyak dari bunga daisy bersama-sama, untuk mengatasi kulit kering akibat pemakaian hand sanitizer,” kata Angélique sambil tersenyum.
“Anak-anak belajar tentang khasiat alam, dan juga bekerja sama.”
“Dengan cara ini, anak-anak kami tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, kreatif, dan penuh inisiatif,” pungkas Angélique. “Kami percaya bahwa masyarakat yang sadar, sehat secara mental dan fisik, dimulai dari sini—dari taman kanak-kanak.”
Catatan kami
Bayangkan taman kanak-kanak di mana anak-anak belajar berhitung di pojok matematika beralas rumput, membaca di bawah pohon, atau memasak lumpur di dapur imajinasi mereka. Di TK De Buitenkans di Bossuit, semua itu bukan mimpi—melainkan kehidupan sehari-hari.
Dari April hingga Oktober, anak-anak menghabiskan hampir seluruh harinya di luar ruangan. Di sinilah mereka melihat, mencium, merasakan, dan mengalami alam secara langsung. Bukan hanya bermain, tapi belajar dengan seluruh pancaindra. Semen playground pun dibongkar agar akar belajar bisa tumbuh di tanah yang nyata.
Sekolah ini mengajarkan lebih dari sekadar huruf dan angka. Di balik tiap aktivitas, ada tujuan pembelajaran yang dirancang hati-hati, namun tetap memberi ruang kejutan. Seekor kupu-kupu bisa jadi pintu masuk ke dunia sains. Sebuah pertanyaan sederhana seperti “Boleh nggak makan buah beri ini?” mengasah logika, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab.
Dengan 15 pojok tematik yang mencakup seluruh aspek perkembangan anak usia dini, anak-anak diarahkan untuk belajar secara mandiri dan sesuai dengan irama masing-masing. Di sini, anak-anak tidak dikotak-kotakkan oleh usia, tapi dirangkul dalam satu kelompok besar, di mana yang kecil belajar dari yang lebih besar—dan sebaliknya.
Memang tidak semua orang tua langsung nyaman dengan konsep “main di luar seharian, pulang baju kotor.” Tapi sekolah ini menjawabnya lewat komunikasi terbuka, sesi informasi, dan pendekatan yang memanusiakan semua pihak. Sepatu bot dan jaket hangat menjadi bagian dari seragam tidak resmi yang mendukung eksplorasi tanpa batas.
Tak hanya anak, sekolah ini juga merangkul komunitas. Dari kerja sama dengan ahli biologi, organisasi sosial Ubuntu, hingga kamp kreatif yang dibangun bersama vzw De Kampenbouwer saat liburan, De Buitenkans adalah simpul kehidupan sosial dan pembelajaran masyarakat. Bahkan saat pandemi merebak, sekolah ini menjadi tempat bertanya dan mencari jawaban bagi warga sekitar.
De Buitenkans adalah bukti bahwa pendidikan terbaik tak selalu ada di balik dinding-dinding megah, tapi di ruang-ruang terbuka yang memberi ruang tumbuh—secara utuh.
Karena dari tangan-tangan kecil yang menyentuh tanah, lahirlah manusia-manusia besar yang tangguh, peduli, dan penuh inisiatif.
Dan semuanya dimulai… dari taman kanak-kanak.