Bagaimana Cara Membuat Guru Muda Betah Mengajar di Kelas: Temuan dari TALIS

Kamis, 13/11/2025 WIB   33
Screenshot-2021-05-11-at-09.19.16

Di banyak negara OECD, usia tenaga pengajar yang semakin menua menjadi masalah yang semakin besar.

Banyak guru yang sudah mendekati usia pensiun, yang bisa menyebabkan kekurangan staf. Contohnya, di Latvia, Lituania, dan Portugal, rata-rata usia guru di tingkat pendidikan menengah pertama sudah lebih dari 50 tahun, menurut data dari Teaching and Learning International Survey (TALIS).

Sementara itu, rata-rata usia guru di negara-negara OECD adalah 45 tahun. Tren ini membuat sistem pendidikan di negara-negara tersebut harus segera merekrut guru muda dan memastikan mereka mendapatkan dukungan yang cukup agar tetap dapat mengajar dengan baik.

Maksudnya: memastikan bahwa guru-guru tersebut mendapatkan bantuan atau sumber daya yang cukup, seperti pelatihan, fasilitas, atau dukungan emosional, agar mereka bisa terus mengajar dengan efektif dan tetap memberikan pendidikan berkualitas kepada siswa. Hal ini bisa mencakup berbagai aspek, seperti pengembangan profesional, kesejahteraan kerja, atau akses terhadap alat bantu pengajaran.

Namun, beberapa negara juga menghadapi masalah dengan banyaknya guru muda yang meninggalkan profesinya.

Apa yang bisa dilakukan agar guru muda tetap bertahan di kelas?

Data TALIS menunjukkan bahwa beberapa negara menemukan solusi kebijakan yang lebih efektif daripada yang lain.

Di Azerbaijan, Italia, Spanyol, dan Swedia (negara-negara dengan rata-rata usia guru di atas 45 tahun), kurang dari 10% guru yang berusia di bawah 30 tahun berniat meninggalkan profesinya dalam lima tahun ke depan.

Angka di atas lebih rendah setengahnya dibandingkan dengan rata-rata OECD dan empat kali lebih sedikit daripada yang ditemukan di Latvia (53%), Lituania (50%), dan Estonia (49%).

Tidak ada solusi tunggal yang cocok untuk semua negara, tetapi negara-negara bisa saling belajar dari kebijakan yang diterapkan di tempat lain.

Misalnya, di Italia, di mana rata-rata usia guru adalah 48 tahun, para pembuat kebijakan mulai mengambil langkah untuk mempertahankan guru muda.

Reformasi yang dilakukan berfokus pada meningkatkan stabilitas pekerjaan dengan memberikan jalur karier yang lebih jelas dan menambahkan komponen berbasis prestasi dalam gaji guru.

Maksudnya: meningkatkan kepastian dan keamanan pekerjaan bagi para guru dengan cara memberikan peluang pengembangan karier yang lebih terstruktur dan transparan. Selain itu, dengan menambahkan komponen berbasis prestasi dalam sistem gaji, guru akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka. Komponen berbasis prestasi ini berarti gaji mereka akan lebih dipengaruhi oleh pencapaian dan kinerja mereka dalam mengajar, sehingga ada insentif untuk terus berkembang dan memberikan yang terbaik dalam pekerjaan mereka.

Pelatihan profesional yang wajib juga membantu guru baru membangun kepercayaan diri dan kompetensinya sejak awal. Italia bahkan salah satu dari sedikit negara yang melihat penurunan rata-rata usia guru di sekolah menengah pertama.

Maksudnya: Italia merupakan salah satu dari sedikit negara yang mengalami penurunan usia rata-rata para guru di tingkat sekolah menengah pertama. Artinya, di Italia, semakin banyak guru muda yang mengajar di tingkat sekolah tersebut, yang berlawanan dengan tren di banyak negara lain yang justru mengalami peningkatan usia rata-rata guru. Ini menunjukkan adanya perubahan dalam demografi tenaga pengajar di Italia, dengan lebih banyak generasi muda yang memilih untuk berkarier di bidang pendidikan di tingkat sekolah menengah pertama.

Islandia, dengan rata-rata usia guru 46 tahun, juga menghadapi masalah kekurangan guru, terutama di daerah-daerah pedesaan dan terpencil.

Jumlah pendaftar pendidikan guru menurun, dengan hanya 165 guru baru yang lulus pada 2019.

Sebagai solusi, Islandia meluncurkan inisiatif lima tahun untuk memperbaiki situasi ini, termasuk menyederhanakan program pendidikan guru dengan menawarkan program magister yang lebih fleksibel, melonggarkan aturan perekrutan, dan meningkatkan dukungan finansial untuk calon guru melalui penempatan berbayar dan beasiswa kelulusan.

Maksudnya:

  • Penempatan berbayar: Ini merujuk pada kesempatan kerja atau penempatan di suatu posisi atau institusi yang memberikan kompensasi atau gaji kepada peserta yang ditempatkan di sana. Dalam konteks pendidikan atau pelatihan, ini bisa berarti bahwa setelah lulus atau selesai pelatihan, peserta ditempatkan di suatu sekolah atau lembaga dengan imbalan finansial.
  • Beasiswa kelulusan: Ini adalah jenis beasiswa yang diberikan kepada seseorang setelah mereka menyelesaikan suatu program pendidikan atau pelatihan. Beasiswa ini bisa mencakup bantuan biaya untuk studi lanjutan atau untuk keperluan profesional setelah lulus. Bisa juga merujuk pada penghargaan yang diberikan kepada mereka yang lulus dengan prestasi tertentu, untuk membantu mereka melanjutkan pendidikan atau memulai karier mereka.

Secara keseluruhan, ini mengacu pada program yang menawarkan kesempatan untuk bekerja dengan bayaran atau mendapatkan beasiswa setelah menyelesaikan suatu program pendidikan atau pelatihan.

Sejak saat itu, Islandia mengalami peningkatan 160% dalam jumlah kelulusan guru dibandingkan dengan rata-rata lima tahun sebelumnya, yakni dengan 454 guru lulus pada 2022.

Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa tindakan yang tepat dapat memberikan perubahan.

Sebaliknya, negara-negara Baltik kesulitan menemukan solusi yang efektif. Mereka menghadapi dua masalah besar, yaitu populasi guru yang semakin menua dan banyaknya guru muda yang berencana keluar dari profesi tersebut.

Gaji rendah dan dukungan yang terbatas berkontribusi pada masalah ini. Ketiga, negara Baltik juga memiliki jumlah guru pria yang sangat rendah.

Selain itu, banyak guru yang merasa profesinya tidak dihargai oleh masyarakat. Di Estonia, Latvia, dan Lituania, hanya sekitar 20% guru tingkat menengah pertama yang merasa profesi mereka dihargai.

Data TALIS menunjukkan bahwa guru yang merasa tidak dihargai lebih cenderung untuk mempertimbangkan keluar dari profesinya.

Selain itu, generasi muda cenderung lebih sering berpindah pekerjaan, sebagian besar karena digitalisasi yang memberi mereka lebih banyak pilihan karier yang fleksibel, termasuk kesempatan bekerja dari jarak jauh atau menjadi pekerja lepas.

Tren tadi mempengaruhi semua profesi, termasuk guru.

Perubahan ini tidak selalu buruk. Perpindahan guru bisa membawa ide-ide baru dan secara alami menyaring guru-guru yang kurang termotivasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pengajaran.

Maksudnya: perubahan atau pergerakan guru antar sekolah tidak selalu berdampak negatif. Sebaliknya, hal ini bisa membawa ide-ide segar dan pendekatan baru dalam pengajaran. Selain itu, perpindahan ini juga bisa menyaring guru-guru yang kurang termotivasi atau tidak cocok dengan profesinya, sehingga hanya guru yang lebih berdedikasi dan bersemangat yang tetap bertahan, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas pengajaran secara keseluruhan.

Dengan kata lain, ketika guru berpindah dari satu sekolah ke sekolah lain atau keluar, hal ini tidak selalu membawa dampak buruk. Justru, pergerakan tersebut dapat membawa manfaat, seperti membawa ide-ide baru atau cara-cara pengajaran yang lebih inovatif yang sebelumnya tidak ada di sekolah yang baru. Ini memberikan peluang bagi sekolah untuk berkembang dengan pendekatan-pendekatan yang lebih segar dan kreatif dalam mengajar, yang bisa memperkaya proses belajar mengajar.

Namun, sekolah perlu memikirkan kembali bagaimana cara menarik dan mempertahankan guru yang berkualitas.

Meningkatkan kesempatan pengembangan profesional bagi guru yang berada di tengah karier mereka adalah langkah yang jelas. Memberikan jalur kemajuan yang lebih jelas kemungkinan akan lebih berkelanjutan daripada terus-menerus merekrut pengganti.

Maksudnya: memberikan peluang pengembangan profesional bagi guru yang sudah berpengalaman adalah langkah yang lebih tepat. Dengan menyediakan jalur kemajuan karier yang jelas, guru dapat terus berkembang dalam profesinya. Hal ini lebih berkelanjutan dibandingkan dengan terus-menerus mencari pengganti baru, karena guru yang sudah ada dapat bertahan lebih lama dan terus meningkatkan kualitas pengajarannya.

Pemimpin pendidikan juga perlu mengembangkan kebijakan yang mendorong orang dari profesi lain untuk beralih ke pengajaran. Misalnya, Islandia memiliki persentase guru yang beralih karier tertinggi di dunia, yakni orang-orang yang menjadi guru setelah bekerja lama di bidang lain.

Pengajaran fleksibel bisa menjadi solusi di sini, seperti mengajar secara tamu, yang memungkinkan profesional yang ingin berkontribusi tetapi tidak bisa sepenuhnya berkomitmen pada jadwal pengajaran tradisional (jadwal pengajaran formal).

Fleksibilitas bagi tenaga kerja yang ada juga menjadi hal yang penting.

Sekitar setengah dari guru, rata-rata, mengatakan bahwa jam kerja yang dapat disesuaikan dengan tanggung jawab keluarga sangat penting, menurut TALIS.

Maksudnya: menurut data TALIS, sekitar 50% guru menganggap bahwa fleksibilitas jam kerja, yang memungkinkan mereka untuk menyesuaikan pekerjaan dengan tanggung jawab keluarga, merupakan hal yang sangat penting. Artinya, banyak guru yang merasa bahwa mereka membutuhkan waktu yang fleksibel agar bisa menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka.

Pengajaran jarak jauh bisa menjadi solusi. Saat ini, sekitar 16% guru bekerja di sekolah yang menawarkan beberapa pelajaran secara online atau dalam format hybrid. Hal ini menunjukkan pergeseran yang perlahan tapi pasti menuju pengajaran jarak jauh.

Misalnya, Singapura menawarkan pembelajaran di rumah untuk siswa tingkat menengah dan pra-universitas sekitar dua kali sebulan. Ini bertujuan untuk menumbuhkan disiplin diri pada siswa dan memungkinkan guru untuk bekerja jarak jauh sambil memantau siswa secara virtual.

Namun, meskipun ini bisa meningkatkan fleksibilitas dan akses pendidikan, hal ini juga membawa tantangan baru.

Banyak guru yang belum memiliki pelatihan formal dalam pengajaran online, mulai dari manajemen kelas digital hingga penggunaan alat virtual.

Oleh karena itu, negara-negara perlu mendukung guru dalam hal ini. Beberapa negara sudah mulai bergerak ke arah ini.

Misalnya, Jerman, Italia, Selandia Baru, serta Komunitas Perancis dan Flandria di Belgia, semuanya memiliki strategi khusus tentang pendidikan digital untuk memastikan efektivitasnya.

Pada akhirnya, pemimpin pendidikan tidak boleh menutup mata dan berharap bahwa sekolah akan dapat merekrut guru baru saat dibutuhkan. Ini adalah masalah kebijakan, dan para pembuat kebijakan perlu segera bertindak.

Jika tidak, beberapa sistem pendidikan bisa menghadapi kekurangan guru yang kronis, yang akan menguras sumber daya dan merugikan perkembangan akademik serta prospek siswa.

Maksudnya: jika kebutuhan fleksibilitas waktu kerja bagi guru tidak dipenuhi, beberapa sistem pendidikan mungkin akan mengalami kekurangan guru secara serius (beberapa sekolah bisa kekurangan guru). Kekurangan ini dapat menyebabkan masalah besar, seperti pemborosan sumber daya dan dampak negatif pada kualitas pendidikan serta masa depan akademik siswa (bisa merugikan perkembangan belajar siswa).

Tulisan ini adalah bagian dari seri blog yang fokus pada hasil dari Teaching and Learning International Survey (TALIS) 2024: The State of Teaching. TALIS adalah survei internasional terbesar di dunia tentang guru dan pemimpin sekolah. Diselenggarakan oleh OECD, pada 2024, survei ini melibatkan sekitar 280.000 guru tingkat menengah pertama di 17.000 sekolah dari 55 sistem pendidikan. Guru tingkat menengah pertama umumnya mengajar siswa hingga usia remaja awal. Seri blog ini berdasarkan bab dalam brosur TALIS 2024 Insights and Interpretations.

Catatan Kami

Mencari Solusi Mengatasi Kekurangan Guru

Di tengah semakin menua usia tenaga pengajar di banyak negara OECD, tantangan besar muncul dalam mempertahankan kualitas pendidikan. Sebagian besar guru kini berada di ambang usia pensiun, yang berpotensi menciptakan kekurangan staf yang signifikan (krisis jumlah staf pengajar).

Di Latvia, Lituania, dan Portugal, misalnya, rata-rata usia guru di tingkat pendidikan menengah pertama sudah melebihi 50 tahun. Sementara itu, rata-rata usia guru di negara OECD hanya 45 tahun.

Sementara itu, rata-rata usia guru di negara OECD hanya 45 tahun: jika dibandingkan dengan negara lain atau konteks yang lebih luas, usia rata-rata guru di negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) adalah 45 tahun. Kalimat ini ingin menekankan bahwa meskipun ada negara-negara dengan guru yang lebih tua, rata-rata usia guru di OECD relatif lebih muda, yakni 45 tahun. Kata “hanya” di sini berfungsi untuk memberikan kontras atau perbandingan dengan negara lain yang memiliki rata-rata usia guru yang lebih tinggi (tua).

Masalah ini menuntut langkah cepat dan efektif untuk merekrut generasi baru pengajar (guru-guru muda), sekaligus memastikan mereka mendapatkan dukungan yang cukup untuk menjalankan profesinya dengan baik.

Namun, di balik upaya merekrut guru muda, banyak negara juga menghadapi kenyataan pahit bahwa jumlah guru muda yang meninggalkan profesinya semakin tinggi. Hal ini bukan hanya masalah usia, tetapi juga tentang bagaimana menjaga daya tarik profesi mengajar.

Data TALIS menunjukkan bahwa negara-negara seperti Azerbaijan, Italia, Spanyol, dan Swedia, yang memiliki rata-rata usia guru lebih tua, berhasil mempertahankan guru muda lebih baik. Di negara-negara tersebut, kurang dari 10% guru berusia di bawah 30 tahun berniat meninggalkan profesinya dalam lima tahun ke depan, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Baltik yang persentasenya mencapai lebih dari 50%.

Italia, misalnya, telah mulai mengambil langkah konkret untuk mempertahankan guru muda. Melalui reformasi yang menekankan pada peningkatan stabilitas pekerjaan, jalur karier yang jelas, dan komponen berbasis prestasi dalam gaji,

Komponen berbasis prestasi dalam gaji: bagian dari sistem penggajian yang ditentukan berdasarkan pencapaian atau kinerja seorang guru. Artinya, gaji guru tidak hanya bergantung pada faktor seperti masa kerja atau jabatan, tetapi juga pada sejauh mana guru tersebut berhasil mencapai target atau standar tertentu dalam mengajar, seperti peningkatan kualitas pengajaran, hasil belajar siswa, atau kontribusi lainnya yang relevan dengan tugas mereka. Dengan kata lain, komponen berbasis prestasi memberikan insentif atau penghargaan finansial bagi guru yang menunjukkan kinerja yang baik.

Italia memberikan contoh yang patut ditiru. Program pelatihan profesional yang wajib membantu guru baru mengasah kompetensi dan kepercayaan diri mereka sejak dini. Hasilnya, Italia adalah salah satu dari sedikit negara yang melihat penurunan rata-rata usia guru di sekolah menengah pertama.

Islandia juga menghadapi kekurangan guru, terutama di daerah-daerah pedesaan dan terpencil. Dengan pendaftaran pendidikan guru yang menurun, Islandia merespons dengan meluncurkan program reformasi pendidikan yang fleksibel dan mendukung calon guru secara finansial. Pendekatan ini berhasil meningkatkan jumlah kelulusan guru hingga 160% dalam lima tahun terakhir. Inisiatif seperti ini membuktikan bahwa kebijakan yang tepat sasaran mampu memberikan perubahan yang nyata.

Namun, tantangan serupa tidak begitu mudah diatasi oleh negara-negara Baltik.

Selain usia guru yang semakin tua, mereka juga harus menghadapi kenyataan banyaknya guru muda yang berencana meninggalkan profesinya.

Gaji rendah dan minimnya dukungan turut memperburuk masalah ini. Di negara-negara ini, hanya sekitar 20% guru yang merasa profesinya dihargai oleh masyarakat, sebuah kondisi yang jelas berdampak pada semangat mereka untuk bertahan. Masalah ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa generasi muda kini lebih cenderung berpindah profesi, didorong oleh kemajuan teknologi dan digitalisasi yang membuka lebih banyak peluang kerja yang lebih fleksibel.

Perpindahan guru bukanlah hal yang sepenuhnya buruk. Pergantian tenaga pengajar bisa membawa ide-ide segar dan memfilter keluar guru-guru yang mungkin kurang termotivasi.

Memfilter keluar guru-guru yang mungkin kurang termotivasi:  proses seleksi alami yang terjadi ketika guru-guru yang tidak memiliki motivasi atau komitmen yang cukup terhadap profesinya akhirnya memilih untuk keluar atau tidak melanjutkan karier mereka sebagai guru. Dalam konteks ini, “memfilter keluar” berarti menyaring atau mengeliminasi guru-guru yang mungkin kurang berdedikasi atau tidak memiliki semangat dalam mengajar, sehingga yang tersisa adalah mereka yang lebih termotivasi dan berkualitas.

Namun, sekolah-sekolah harus memikirkan cara untuk menarik dan mempertahankan guru-guru berkualitas.

Salah satunya adalah dengan meningkatkan peluang pengembangan profesional bagi guru yang sudah berada di tengah karier mereka. Jalur kemajuan (karir) yang jelas dan kesempatan untuk terus berkembang dalam profesinya akan lebih berkelanjutan daripada sekadar merekrut pengganti.

Di sisi lain, kebijakan untuk menarik orang-orang dari profesi lain juga perlu dipertimbangkan.

Islandia, misalnya, memiliki jumlah guru yang beralih karier tertinggi di dunia, dengan banyak profesional yang masuk ke dunia pengajaran (pendidikan) setelah bekerja di bidang lain.

Opsi pengajaran fleksibel, seperti mengajar tamu atau memberikan pelatihan khusus, bisa menjadi solusi efektif dalam menarik mereka yang ingin berkontribusi meskipun tidak bisa berkomitmen penuh pada jadwal pengajaran tradisional.

Mengajar tamu atau memberikan pelatihan khusus: mengundang atau melibatkan seseorang untuk mengajarkan materi atau keterampilan tertentu dalam kapasitas yang lebih fleksibel atau tidak permanen. Ini bisa berarti bahwa seseorang yang memiliki keahlian di bidang tertentu, seperti profesional atau pakar, diundang untuk mengajar atau memberikan pelatihan tanpa harus menjadi bagian dari staf pengajar tetap.

Kegiatan ini sering disebut dengan istilah mengajar tamu atau guest teaching, yang memungkinkan tamu atau pengajar luar untuk berbagi pengetahuan mereka dengan peserta didik dalam suatu jangka waktu tertentu, seperti seminar, workshop, atau sesi pelatihan.

Sedangkan pelatihan khusus merujuk pada kegiatan yang lebih terfokus untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan dalam bidang tertentu, yang diberikan kepada individu atau kelompok yang membutuhkan pengembangan lebih lanjut.

Selain itu, fleksibilitas dalam dunia pengajaran menjadi sangat penting.

Menurut data TALIS, sekitar setengah dari guru menganggap jam kerja yang dapat disesuaikan dengan tanggung jawab keluarga sebagai hal yang sangat penting.

Maksudnya: para guru ini menganggap fleksibilitas waktu sebagai hal yang sangat bernilai agar mereka bisa menjalankan tugas profesional mereka sambil tetap memenuhi kewajiban dan peran penting mereka dalam keluarga.

Dengan kata lain, mereka menginginkan pengaturan waktu kerja yang lebih fleksibel sehingga dapat mengurangi beban atau stres yang mungkin timbul karena ketegangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka baik secara pribadi maupun profesional.

Pengajaran jarak jauh dapat menjadi solusi di sini, seperti yang dilakukan Singapura dengan menawarkan pembelajaran rumah bagi siswa tingkat menengah dan pra-universitas. Langkah ini memungkinkan siswa untuk lebih mandiri dan memberi guru kesempatan untuk bekerja dari jarak jauh sambil memantau perkembangan siswa secara virtual.

Namun, meskipun fleksibilitas ini meningkatkan akses pendidikan, pengajaran jarak jauh juga menuntut kesiapan guru yang memadai dalam hal keterampilan digital dan manajemen kelas secara online.

Negara-negara yang ingin mengimplementasikan model ini harus memberikan pelatihan yang cukup agar guru dapat memanfaatkan teknologi dengan maksimal. Beberapa negara seperti Jerman, Italia, dan Selandia Baru telah memulai langkah ini dengan mengembangkan kebijakan pendidikan digital yang jelas.

Pada akhirnya, kebijakan pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan harapan bahwa sekolah akan dapat merekrut guru baru saat dibutuhkan.

Ini adalah masalah yang membutuhkan tindakan nyata dari pembuat kebijakan. Jika tidak, sistem pendidikan berisiko menghadapi kekurangan guru yang kronis, yang akan menguras sumber daya dan merugikan masa depan pendidikan serta perkembangan siswa.

Tindakan cepat dan tepat dari para pemimpin pendidikan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tantangan ini bisa diatasi dengan baik.

(Sumber: OECD/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image dan OECD)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)