Setiap pagi, Stephanie Nichols mengumpulkan murid kelas dua di sekitar meja untuk sarapan dan memulai hari mereka.
Ketika anak-anak sudah berada di dalam kelas, Nichols lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Percakapan di meja sarapan bisa tentang apa saja – dari permainan video hingga tim football, New England Patriots.
Namun, dalam beberapa minggu terakhir, meja itu ramai tentang satu hal: penembakan massal di Lewiston yang menewaskan 18 orang dan melukai 13 lainnya.
Kejadian itu menyebabkan pencarian selama beberapa hari hingga menutup sekolah dan membuat masyarakat berada dalam kondisi lockdown.
*Baca transkrip terjemahan podcast di atas di sini
Nichols mengajar di Narragansett Elementary School di Gorham, Maine, sekitar 40 menit dari Lewiston.
“Meskipun jaraknya begitu jauh, kita semua memiliki hubungan,” katanya. “Ini Maine. Ini benar-benar seperti kota kecil terbesar.”
Nichols tahu murid-muridnya perlu membicarakannya: “Saya pikir orang kadang-kadang meremehkan anak-anak pada tingkat usia ini,” katanya. “Anak-anak saya tahu segala sesuatu yang mereka dengar di berita.”
Dengan tragedi mendominasi siklus berita selama beberapa minggu terakhir, para guru mencari cara untuk membantu murid-murid memahami dunia di sekitar mereka. Bahkan, anak-anak yang paling muda pun menyerap berita dan peristiwa terkini.
Para guru mengatakan mereka perlu memberi alat untuk membantu mereka memproses – dan menyaring — informasi. Salah satu elemen kunci dari pendekatan itu adalah literasi media.
Meskipun anak-anak tidak mencari berita, Nichols menjelaskan mereka masih terpapar informasinya. Dan mereka memiliki banyak pertanyaan. Salah satu murid di kelasnya bertanya: Mengapa? Mengapa pelaku melakukan ini?
Ia mengatakan langkah terbaik adalah jujur dengan murid-muridnya, memberi tahu mereka bahwa: “Kita tahu banyak, tetapi kita tidak selalu memiliki jawaban untuk segalanya. Dan mungkin itu sesuatu yang kita tidak pernah memiliki jawabannya.”
Nichols mengungkapkan ini bukan kali pertama ia dan murid-muridnya memiliki percakapan sulit tentang berita.
Kadang-kadang, bahkan kesukaan mereka – seperti video YouTube atau gamer di Twitch – dapat mengekspos mereka pada berita.
Ia ingin anak-anak memahami bahwa tidak semua yang mereka lihat di Internet bisa dipercaya.
“Penting bagi kita untuk tahu siapa yang menyajikan hal-hal seperti iklan,” katanya. “Karena, kita tidak tahu apakah itu fakta atau opini.”
Untuk siswa yang lebih tua – SMP dan SMA – diskusi literasi media lebih rumit.
Wesley Hedgepeth, seorang guru sejarah SMA di Richmond, Va., mencoba membawa topik ini ke dalam semua kelasnya.
Ia menggunakan MediaWise, kursus online yang dijalankan melalui Poynter Institute, untuk memberikan siswanya kursus kilat.
Ia memulai dengan kuis program untuk siswa, bertanya seperti, “Apakah Anda tahu apa itu deepfake? Atau pernahkah Anda membagikan sesuatu yang salah? Dan bagaimana Anda tahu kemudian?”
Siswa-siswa menjawab tentang kebiasaan mereka sendiri dan mendapatkan video sebagai balasannya.
Video tersebut dibawakan oleh jurnalis terkenal seperti Joan Lunden atau pendidik populer seperti John Green, dan fokus pada bagian berbeda dari literasi media.
Unit ini membantu persiapan siswa SMA Hedgepeth untuk menghadapi konflik seperti perang terkini di Gaza. Siswa-siswa SMA diajarkan cara mengevaluasi lembaga berita untuk keberpihakan.
Dalam satu pelajaran, mereka diberikan teks-teks yang berbeda tentang peristiwa yang sama dan diminta untuk mengidentifikasi perbedaan.
Terkadang, guru menggunakan literasi media sebagai jalan masuk ke percakapan sulit.
Hedgepeth adalah presiden National Council for the Social Studies, dan mengatakan bahwa cara guru membicarakan sesuatu seperti perang di Gaza dapat tergantung pada negara bagian di mana mereka mengajar.
Di setidaknya 17 negara bagian, undang-undang tentang “konsep-konsep yang memecah belah” sekarang membatasi apa yang dapat dibicarakan guru.
Hal-hal seperti teori ras kritis, hak LGBTQ, dan kekerasan senjata seringkali menjadi isu-isu sensitif.
“Guru merasa khawatir tentang pekerjaan mereka,” katanya. “Faktor bahwa hal itu pada dasarnya sudah memecah belah membuat beberapa guru ragu untuk membicarakannya.”
Namun, Hedgepeth mengatakan kelas studi sosial memiliki kualifikasi unik untuk mengadakan diskusi ini.
Ia memanfaatkan topik yang sudah ada dalam materi, seperti sejarah Kekaisaran Ottoman dan Byzantine misalnya, untuk memberikan konteks bagi wilayah tersebut. Ia menggunakan itu untuk membuat loncatan dari sejarah ke masa kini.
Hedgepeth juga mencoba mendapatkan banyak sudut pandang dalam pelajarannya.
Ia menjelaskan, ini bukan hanya tentang sejarah satu sisi: “Tidak hanya ada dua sisi, tetapi banyak sisi konflik ini,” katanya. “Saya pikir sangat penting untuk menghubungkannya dengan apa yang kita pelajari agar mereka dapat memahami gambaran besar.”
Dengan lebih banyak melihat beragam sisi cerita, muncul lebih banyak pula kesempatan bagi siswa untuk mencapai kesimpulan mereka sendiri.
(Sumber terjemahan: npr/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari npr dan Google Image)