Apakah Sekolah di Masa Depan akan Berbeda?

Selasa, 03/06/2025 WIB   1107
shutterstock_1066257617_master

Bagaimana sekolah akan berubah (berbeda) di tahun 2040? Apakah anak-anak yang lahir di tahun 2025 akan mengalami pendidikan (proses belajar) yang berbeda dengan siswa yang saat ini menyelesaikan pendidikannya? Ada 3 cara di mana pendidikan dapat berubah di masa depan.

Memprediksi masa depan selalu sulit (sebuah tantangan), terutama di tengah perubahan yang cepat. Anak-anak yang lahir tahun ini akan tumbuh dewasa di dunia yang penuh tantangan atau memasuki dunia yang penuh konflik dan ancaman perang, polarisasi (perpecahan) politik, nasionalisme yang meningkat, pemanasan global (perubahan iklim) yang berkelanjutan, ruang maya (online) yang diperburuk oleh media sosial, dan kemajuan luar biasa (pesat) kecerdasan buatan dan teknologi digital. Sulit untuk membayangkan dunia seperti apa yang akan dihuni anak-anak ini nantinya, baik mengenai perubahannya maupun bagaimana anak-anak ini akan hidup di dalamnya.

Dengan laju perubahan yang cepat saat ini, tidaklah mengherankan jika banyak orang mempertanyakan apakah sekolah masih akan ada di tahun 2040. Apakah bangunan fisik dan ruang kelas masih diperlukan, atau apakah siswa bisa belajar di mana saja dan kapan saja dengan bantuan teknologi? Apakah peran guru masih dibutuhkan, atau apakah siswa bisa mendapatkan (mencari) bantuan yang mereka butuhkan melalui (menggunakan) kecerdasan buatan? Jika peran guru masih ada, apakah peran itu akan sangat berbeda dari peran yang mereka jalankan saat ini?

Dalam banyak hal, sekolah secara historis sering menjadi penghalang terhadap perubahan.
Meskipun ada banyak seruan untuk melakukan reformasi dan beberapa sekolah memang sudah berubah secara drastis, pendidikan di sekolah pada umumnya lambat berubah dan sering kali menolak perubahan.

Kebanyakan orang tua mengharapkan sekolah menjadi seperti lembaga yang mereka hadiri (menginginkan sekolah yang sama dengan yang mereka alami saat masih sekolah); kekuatan (kelompok) konservatif berargumentasi untuk mempertahankan prioritas tradisional (mempertahankan tradisi dan prioritas yang sudah ada sebelumnya); dan kerangka kerja eksternal (sistem pendidikan yang ada) di mana sekolah beroperasi – termasuk kurikulum, persyaratan penilaian/ujian, dan proses penerimaan universitas – memainkan peran kuat dalam menjaga status quonya (cenderung mempertahankan status quo).

Singkatnya, sekolah secara historis cenderung menolak perubahan dan mempertahankan tradisi yang sudah ada. Dengan demikian, perubahan dalam sistem pendidikan di sekolah cenderung lambat dan sulit terjadi.

Selain itu, sepertinya kebutuhan akan guru yang bisa memantau dan membimbing proses belajar ssiwa akan tetap ada. Guru tetap dibutuhkan untuk mengajarkan dan menjelaskan materi saat diperlukan. Pada tahun 2040, kemungkinan besar guru akan lebih banyak menggunakan teknologi untuk mengetahui sejauh mana pemahaman setiap siswa, mengenali kesulitan dan kesalahpahaman, memberikan tugas belajar yang sesuai, serta memantau perkembangan siswa dalam jangka panjang (kemajuan belajar siswa dari waktu ke waktu). Guru juga akan tetap memegang peran penting dalam memastikan siswa merasa aman serta nyaman di lingkungan sekolah, dan mendukung kesehatan sosial serta emosional mereka.

Jadi, apakah sekolah akan memberikan pengalaman yang berbeda bagi anak-anak yang lahir tahun ini? Jika iya, bagaimana perubahannya?

Terdapat 3 kemungkinan tentang bagaimana proses belajar di sekolah bisa berkembang di masa depan.

Pembelajaran menjadi lebih fleksibel

Prediksi yang cukup aman adalah bahwa teknologi akan memainkan peran yang semakin besar dalam proses belajar di sekolah. Hal ini akan membuat cara belajar menjadi lebih fleksibel — baik dalam hal apa yang dipelajari, kapan belajar dilakukan, maupun di mana belajar berlangsung.

Saat ini, sebagian besar kurikulum sekolah dirancang dengan tujuan agar semua siswa di tingkat kelas yang sama belajar materi yang sama, pada waktu yang sama, dan selama durasi yang sama. Mereka dinilai dan diberi nilai berdasarkan seberapa baik mereka bisa memahami dan menguasai materi yang sudah diajarkan, sebelum bersama-sama melanjutkan ke materi berikutnya, di mana mereka mulai belajar dari awal lagi, dan proses ini terus diulang.

Pendekatan seperti ini kadang disebut sebagai model sekolah “jalur perakitan” (assembly line), dan dianggap sebagai cara yang efisien dan adil untuk mengajar seluruh kelompok siswa dalam satu angkatan usia.

Model sekolah “jalur perakitan” (assembly line): Cara mengajar yang seperti proses produksi di pabrik, di mana:

  • Siswa dianggap seperti “produk” yang bergerak melalui tahapan-tahapan belajar secara berurutan dan seragam.
  • Semua siswa di satu kelas atau tingkat belajar diperlakukan sama: belajar materi yang sama, pada waktu yang sama, dan dengan cara yang sama.
  • Setelah menyelesaikan satu materi, mereka langsung pindah bersama-sama ke materi berikutnya, seperti “barang” yang terus bergerak di jalur perakitan.
  • Tujuannya supaya proses belajar berjalan efisien dan “adil” karena semua siswa diperlakukan sama tanpa perbedaan.

 Model ini cenderung kaku dan tidak memperhatikan kebutuhan atau kecepatan belajar setiap siswa yang bisa berbeda-beda.

Namun, di sebagian besar negara—atau bahkan di semua negara—model pembelajaran ini, yang menganggap semua siswa memiliki kesiapan yang sama untuk mengikuti kurikulum sesuai tingkat kelasnya, tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Misalnya, dalam pelajaran membaca dan matematika, siswa yang paling mahir di suatu tingkat kelas bisa berada 5 sampai 6 tahun lebih maju dibandingkan siswa yang paling tertinggal. Karena siswa naik kelas berdasarkan waktu (misalnya, tiap tahun ajaran), bukan berdasarkan penguasaan materi, ada yang belum memahami pelajaran sebelumnya dan makin tertinggal karena kurikulum tiap tahun makin sulit. Akibatnya, banyak siswa yang masih kesulitan membaca dengan baik, padahal seharusnya sudah bisa sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, banyak siswa usia 15 tahun yang belum menguasai matematika yang seharusnya dipahami oleh anak usia 11 atau 12 tahun.

Di tahun 2040, penggunaan teknologi digital yang lebih mendalam di sekolah-sekolah diharapkan memungkinkan cara belajar yang lebih fleksibel. Guru akan menggunakan teknologi untuk lebih memahami sejauh mana kemajuan setiap siswa, dan menyesuaikan pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Tujuannya bukan lagi memaksa mereka belajar hal yang belum siap mereka pelajari, atau mengulang hal yang sudah mereka kuasai, tapi mengoptimalkan pembelajaran setiap siswa dengan tantangan yang pas (sesuai) dan personal.

Kalau guru memberi tugas yang terlalu mudah (atau sebaliknya, terlalu sulit dan di luar kemampuan siswa saat itu), maka belajar tidak akan efektif. Seorang ahli bernama Lev Vygotsky mengatakan bahwa belajar akan lebih berhasil jika tantangan yang diberikan sedikit di luar zona nyaman siswa—ini disebut zone of proximal development. Di sinilah mereka diberi tantangan yang cukup sulit sehingga mereka bisa saja membuat kesalahan, lalu belajar dari kesalahan itu.

Yang lebih mendasar, di tahun 2040, cara pandang terhadap waktu dalam pembelajaran kemungkinan besar akan berubah. Siswa tidak lagi diharapkan belajar dalam kecepatan yang sama. Siswa yang butuh lebih banyak waktu akan diberi waktu itu, sementara siswa yang sudah siap belajar materi yang lebih menantang bisa langsung melanjutkan. Saat ini, biasanya waktu belajar dibuat tetap (misalnya satu tahun per tingkat), tapi hasil belajar siswa bisa berbeda-beda. Di masa depan, kemungkinan besar yang akan diterapkan adalah standar hasil belajar yang sama untuk semua, tetapi waktu yang dibutuhkan setiap siswa untuk mencapainya bisa berbeda sesuai kebutuhan mereka.

Hal ini akan berdampak besar pada cara kurikulum dirancang. Kurikulum di masa depan kemungkinan tidak lagi berisi materi-materi yang terpisah yang harus diajarkan kepada semua siswa pada waktu dan durasi yang sama. Sebagai gantinya, kurikulum akan lebih berbentuk jalur pembelajaran—semacam peta yang menunjukkan perkembangan pengetahuan yang makin mendalam, pemahaman konsep yang makin kuat, dan keterampilan yang makin berkembang dalam suatu bidang belajar.

Berbentuk jalur pembelajaran: Kurikulum dirancang seperti perjalanan bertahap yang dilalui siswa. Jadi, siswa tidak langsung diajarkan semua materi sekaligus, tetapi mengikuti urutan yang terstruktur, dimulai dari dasar lalu terus meningkat ke tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan dan pemahaman mereka. Contohnya:

  • Di bidang sains, jalur pembelajaran bisa dimulai dari mengenal makhluk hidup, lalu belajar sistem tubuh manusia, kemudian konsep sel, hingga genetika.
  • Di musik, dari mengenal nada, belajar membaca not, memainkan alat musik dasar, hingga bisa menciptakan komposisi sendiri.

 Jadi, jalur pembelajaran = urutan langkah-langkah belajar yang terarah dan berkembang, agar siswa bisa membangun pengetahuan dan keterampilan secara bertahap dan mendalam (rangkaian tahapan belajar yang disusun dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.).

Suatu bidang belajar: Bidang atau area tertentu dalam pendidikan yang menjadi fokus pembelajaran siswa. Contohnya:

  • Dalam matematika, jalur pembelajarannya bisa dimulai dari berhitung dasar, lalu berkembang ke aljabar, geometri, hingga kalkulus.
  • Dalam bahasa, bisa dimulai dari membaca kata, memahami teks, menulis esai, hingga menganalisis karya sastra.

 Jadi, “bidang belajar” itu seperti mata pelajaran atau area keahlian tertentu (misalnya matematika, sains, bahasa, seni, dan sebagainya) yang dijalani secara bertahap sesuai dengan tingkat pemahaman dan keterampilan siswa.

Semua ini akan memberikan acuan bagi guru dan siswa untuk bersama-sama menentukan sejauh mana kemajuan belajar masing-masing siswa, memilih langkah terbaik selanjutnya dalam pembelajaran, menetapkan tujuan belajar yang menantang tapi masih realistis, serta memantau perkembangan siswa dari waktu ke waktu — semuanya dengan bantuan teknologi digital.

Dan di tahun 2040, kurikulum kemungkinan besar tidak lagi mengharapkan semua siswa berada di titik yang sama dalam pembelajaran pada waktu yang sama. Sebaliknya, kurikulum akan dirancang untuk memaksimalkan pertumbuhan belajar setiap siswa secara berkelanjutan

Prioritas pembelajaran yang lebih luas (tujuan belajar yang lebih menyeluruh)

Salah satu prediksi yang cukup aman (memungkinkan) adalah bahwa pada tahun 2040, sekolah-sekolah akan mendorong pembelajaran yang lebih mendalam dan menyeluruh. Karena hampir semua pengetahuan manusia sudah bisa diakses oleh siapa saja di seluruh dunia; tugas-tugas rutin dikerjakan oleh mesin; dan teknologi digital mampu melakukan analisis canggih, terus belajar, serta menciptakan solusi baru — maka sekolah akan semakin memprioritaskan hal-hal yang menjadikan manusia itu unik.

Pembelajaran yang lebih mendalam dan menyeluruh: Tidak hanya fokus pada hafalan atau pengetahuan dasar, tapi juga pada pemahaman mendalam, keterampilan berpikir, karakter, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Hal-hal yang menjadikan manusia itu unik: Mencakup empati, etika, kreativitas, kerja sama, dan kemampuan membuat keputusan yang bijak — hal-hal yang tidak mudah digantikan oleh teknologi.

Saat ini, banyak kurikulum sekolah dibuat, utamanya untuk menyampaikan kumpulan pengetahuan berupa fakta dan prosedur (teori). Di beberapa negara, para guru mengeluh bahwa kurikulum yang diwajibkan terlalu padat dengan isi seperti ini, sehingga mereka merasa tertekan oleh waktu dan tidak punya cukup kesempatan untuk mengajar secara mendalam. Tes dan ujian pun sering kali memperkuat fokus ini, sehingga pembelajaran lebih menekankan pada cakupan materi, hafalan, dan mengulang informasi, bukan pada pemahaman yang sebenarnya.

Fakta: Informasi yang harus dihafal, seperti tanggal sejarah, rumus matematika, definisi, nama tokoh, atau istilah tertentu.

Prosedur: Langkah-langkah atau cara melakukan sesuatu, seperti cara menyelesaikan soal matematika, cara melakukan percobaan sains, atau aturan dalam menulis esai.

Jadi, “pengetahuan berupa fakta dan prosedur” berarti siswa lebih banyak diajarkan untuk mengingat informasi dan mengikuti langkah-langkah tertentu, daripada benar-benar memahami makna di baliknya, berpikir kritis, atau menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan nyata

Meskipun pengetahuan tentang fakta dan prosedur penting dalam setiap bidang pembelajaran, sekarang (saat ini) semakin disadari bahwa yang tidak kalah penting dari apa yang siswa ketahui adalah apa yang bisa mereka lakukan dengan pengetahuan itu. Kemampuan untuk menerapkan pengetahuan pada masalah yang rumit dan situasi yang belum dikenal biasanya bergantung pada pemahaman yang kuat terhadap konsep dan prinsip dasar dalam suatu bidang. Pemahaman yang lebih mendalam ini membantu siswa mengatur dan menggunakan pengetahuan faktual mereka dengan lebih baik.

Penerapan pengetahuan juga bergantung pada keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, termasuk keterampilan berpikir kritis dan kreatif, menggunakan teknologi, memecahkan masalah, dan bekerja sama dengan orang lain. Untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan ini, dibutuhkan pendekatan pembelajaran yang lebih menyeluruh – yaitu pendekatan yang melihat kompetensi sebagai hasil dari gabungan antara pengetahuan mata pelajaran, pemahaman konsep, keterampilan, dan sifat-sifat pribadi seseorang seperti ketekunan dan ketangguhan.

Pada tahun 2040, kurikulum sekolah diperkirakan tidak lagi terlalu fokus pada hafalan fakta dan rutinitas, melainkan lebih menekankan pada kemampuan siswa untuk berpikir dan menerapkan apa yang mereka pelajari.

Perbedaan antara pengetahuan dan keterampilan, teori dan praktik, serta pembelajaran akademik dan vokasional akan semakin menyatu dalam pemahaman yang lebih terpadu tentang apa artinya mahir dalam suatu bidang. Di sekolah masa depan, pencapaian yang tinggi tidak hanya diartikan sebagai memiliki lebih banyak pengetahuan, tetapi juga sebagai pemahaman konsep yang lebih mendalam dan kemampuan menggunakan pengetahuan secara lebih ahli.

Pembelajaran akademik dan vokasional akan semakin menyatu dalam pemahaman yang lebih terpadu tentang apa artinya mahir dalam suatu bidang: Belajar teori (akademik) dan belajar keterampilan praktis (vokasional) tidak akan lagi dipisah-pisahkan. Keduanya akan digabungkan agar siswa benar-benar memahami dan bisa menguasai suatu bidang secara utuh — baik secara pengetahuan maupun keterampilan. Contohnya:

  • Dalam bidang pertanian, siswa tidak hanya belajar teori tentang tanaman (akademik), tapi juga praktik langsung menanam dan merawat tanaman (vokasional).
  • Dalam teknologi, siswa tidak hanya mempelajari cara kerja mesin (akademik), tapi juga langsung mencoba memperbaiki atau merakitnya (vokasional).

 Tujuannya adalah agar siswa tidak hanya pintar secara teori, tapi juga terampil dalam praktik, sehingga benar-benar mahir dan siap menghadapi dunia nyata.

Pemahaman konsep yang lebih mendalam: Mengerti suatu topik atau ide secara lebih lengkap, tidak hanya di permukaan, tapi juga tahu alasan di baliknya, bagaimana itu bekerja, dan bagaimana bisa diterapkan dalam berbagai situasi. Contohnya:

  • Bukan hanya tahu bahwa air mendidih pada 100°C, tapi juga mengerti mengapa air mendidih pada suhu itu dan bagaimana tekanan udara bisa memengaruhinya.
  • Dalam matematika, bukan hanya hafal rumus luas segitiga, tapi juga paham mengapa rumus itu seperti itu dan kapan rumus tersebut cocok digunakan.

 Jadi, pemahaman yang lebih mendalam artinya siswa tidak sekadar menghafal, tapi benar-benar memahami inti dari pelajaran dan bisa menjelaskan atau menggunakannya dalam kehidupan nyata.

Kemampuan menggunakan pengetahuan secara lebih ahli: Mampu memakai pengetahuan yang dimiliki dengan cara yang tepat, efektif, dan mendalam, terutama untuk menyelesaikan masalah nyata atau menghadapi situasi yang rumit. Contohnya:

  • Bukan hanya tahu rumus matematika, tapi bisa menggunakannya untuk menghitung anggaran atau memecahkan soal kehidupan sehari-hari.
  • Bukan hanya tahu teori sains, tapi bisa menerapkannya untuk membuat eksperimen atau memahami kejadian di sekitar.

 Jadi, bukan sekadar hafal atau tahu, tapi bisa memahami, menjelaskan, dan menerapkan pengetahuan tersebut dengan baik dan bijak.

Memberi perhatian lebih pada keberlanjutan

Kemungkinan besar, pada tahun 2040, kurikulum dan proses penilaian akan lebih mencerminkan sifat belajar yang berlangsung terus-menerus dan bertahap. Dengan begitu, pembelajaran setiap individu akan lebih terjaga kesinambungannya dari waktu ke waktu. Maksudnya, sistem belajar dan penilaian di masa depan akan lebih mendukung proses belajar yang berkelanjutan — bukan sekadar menilai hasil sesaat, tapi memperhatikan perkembangan siswa dari waktu ke waktu.

Saat ini, struktur pendidikan sering justru menghambat kesinambungan belajar. Misalnya, pembelajaran formal dibagi-bagi ke dalam jenjang (seperti PAUD, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi), di mana lingkungan belajar, cara mengajar, dan pendekatan pendidikannya seringkali berbeda-beda di setiap jenjang. Perpindahan antar jenjang ini sering menyebabkan gangguan dalam proses belajar dan bisa menjadi hambatan bagi sebagian siswa — akibat dari pembagian buatan terhadap proses belajar yang seharusnya berjalan secara terus-menerus.

Perpindahan yang tetap dan berdasarkan waktu tertentu juga tidak sesuai dengan kenyataan bahwa kemajuan dan kesiapan siswa sangat bervariasi. Misalnya, anak-anak yang berada di kelompok usia di sekitar masa transisi dari pra-sekolah ke sekolah dasar memiliki tingkat perkembangan sosial, kognitif, emosional, dan bahasa yang sangat berbeda-beda dan bahkan saling tumpang tindih.

Dengan kata lain, tidak semua anak berkembang pada waktu yang sama, jadi memaksa mereka pindah ke jenjang berikutnya berdasarkan usia saja bisa tidak tepat karena kesiapan mereka berbeda-beda.

Meskipun begitu, sering kali diasumsikan bahwa semua anak siap memulai kurikulum sekolah yang sama pada waktu yang sama. Begitu juga, keharusan agar siswa pindah dari kurikulum satu tahun ke tahun berikutnya secara serentak, tanpa memandang kesiapan mereka, dapat menyebabkan adanya kekurangan dan celah pengetahuan yang belum dipahami. Hal ini justru menghambat proses belajar yang berkelanjutan dan bertahap (memaksa semua siswa maju pada waktu yang sama tanpa memperhatikan kesiapan individualnya bisa membuat beberapa siswa tertinggal dan sulit mengikuti pembelajaran secara terus menerus)

Selain itu, cara umum dalam menilai dan melaporkan hasil belajar belum mencerminkan atau mendukung pemahaman bahwa belajar adalah proses yang terus berkembang dan berkelanjutan. Misalnya, siswa yang mendapatkan nilai huruf yang sama dari tahun ke tahun tidak mendapatkan gambaran jelas tentang kesinambungan belajar mereka, sejauh mana perkembangan jangka panjangnya, atau kemajuan nyata apa yang telah mereka capai (siswa sulit memahami sejauh mana mereka telah maju dalam belajar).

Pada tahun 2040, kita mungkin akan melihat kemajuan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Kemajuan ini meliputi pengurangan perbedaan dan perpindahan yang lebih lancar antar jenjang pendidikan, serta proses kurikulum, penilaian, dan pelaporan yang lebih mencerminkan sifat belajar sepanjang hayat (belajar itu berlangsung seumur hidup).

Pengurangan perbedaan dan perpindahan yang lebih lancar antar jenjang pendidikan: Mengurangi perbedaan besar dalam cara belajar, lingkungan, dan metode pengajaran di setiap tingkat pendidikan, sehingga siswa bisa berpindah dari satu jenjang ke jenjang berikutnya dengan lebih mudah dan tanpa gangguan berarti.

Struktur dan proses sekolah akan semakin dirancang dengan pemahaman bahwa setiap siswa berada dalam perjalanan belajar jangka panjang; bahwa siswa dengan usia dan jenjang yang sama bisa berada pada tingkat kemajuan yang sangat berbeda; dan bahwa setiap siswa mampu mencapai kemajuan yang luar biasa jika mendapatkan kesempatan belajar dan pengajaran yang tepat sasaran (sekolah di masa depan akan lebih menyadari bahwa tiap siswa unik dalam meraih kemajuannya, dan semua siswa punya potensi besar untuk berkembang jika dibimbing dengan cara yang sesuai).

(Sumber terjemahan: Teacher Magazine/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)