Bermain, Terhubung, Tumbuh: Kisah dari Kelas-Kelas Inovatif di Aotearoa Selandia Baru

Rabu, 28/05/2025 WIB   573
Bush School 9

Di Aotearoa Selandia Baru, pendidikan memiliki ciri khas tersendiri: perpaduan beragam budaya, kepedulian terhadap alam, dan sejarah inovasi yang sudah ada sejak negara ini didirikan.

Pemimpin Komunitas HundrED, Sarah Aiono, mengumpulkan 3 pendidik yang telah memasukkan unsur bermain ke dalam kurikulum mereka sekaligus menyatukan komunitas mereka di dalam proses tersebut.

Pemimpin Komunitas HundrED: Orang yang memimpin dan mendukung para pendidik, inovator, dan anggota lainnya di dalam komunitas HundrED. Tugasnya menghubungkan anggota komunitas yang satu dengan yang lain, mempromosikan kolaborasi dan berbagi praktik baik dan menyuarakan ide dan inovasi dari berbagai daerah ke panggung global

Mencermati pembelajaran yang menjadi inti dari bermain

Di Sekolah Lyall Bay, sebuah sekolah dasar yang terletak di sebelah selatan Wellington, Jo Graham sedang mencari cara untuk mengembangkan kebijakan di sekolahnya tentang pembelajaran melalui bermain. Ternyata jawabannya sudah ada sejak awal.

“Salah satu alasan saya pindah ke Sekolah Lyall Bay adalah karena letaknya yang sangat dekat dengan pantai,” kata Jo. “Kalau saya bisa berada di luar ruangan atau di air, di situlah saya merasa menjadi versi terbaik dari diri saya… setiap kali saya pergi ke pantai, saya selalu bilang ke para guru, ‘Saya berharap bisa belajar di sini. Saya ingin sekali mengajar di sini.’”

Dengan perencanaan yang matang dan panduan keselamatan yang jelas, ia pun memulai program Beach School sebagai cara untuk meningkatkan keterlibatan murid dan menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna.

Saat ini, Beach School telah menjadi bagian penting dari kurikulum Jo. Sebanyak 3 kali seminggu, para murid mendorong troli berisi perlengkapan mereka dan berjalan sekitar 750 meter menuju pantai untuk terlibat dalam kegiatan bermain di ruang terbuka dan tidak terbatas.

Pelajaran matematika muncul lewat permainan peran membuka kedai kopi latte dan membuat pola fraktal dari batu-batu pantai.

Pelajaran fisika dan budaya datang bersama ombak (tidak diajarkan secara formal di dalam kelas, melainkan mengalir secara alami melalui pengalaman langsung di pantai. Ombak menjadi simbol dari lingkungan alami tempat pembelajaran itu terjadi), membawa serta kisah Tangaroa (dewa laut dalam kepercayaan Māori).

Lebih jelasnya:

  • Dari ombak, anak-anak bisa belajar tentang konsep fisika seperti gaya, gerak, dan energi.
  • Dari laut dan ombak, mereka juga belajar tentang budaya Māori, termasuk kepercayaan kepada Tangaroa, dewa laut dalam mitologi mereka.

Jadi, “datang bersama ombak” menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan dan budaya secara alami hadir dan dipelajari melalui pengalaman nyata di lingkungan pantai.

Semua proses belajar ini berlangsung di ruang terbuka, di hadapan publik, yang sekaligus mendorong keterlibatan masyarakat dan menegaskan pentingnya membiarkan anak-anak menjadi anak-anak.

“Semakin sering kami di luar sana,” kata Jo, “semakin banyak orang yang melihat anak-anak benar-benar menikmati apa yang mereka lakukan. Menikmati belajar dan menikmati masa kecil mereka.”

Di sisi lain Wellington, di sepanjang lembah sungai Hutt, Amber Donaldson menghadapi tantangan serupa. Sekolah Oxford Crescent tempatnya mengajar terletak jauh dari pantai — lingkungan kota membuat akses ke alam menjadi sulit. Namun, Amber tetap percaya akan pentingnya alam dan bermain dalam pendidikan anak-anak.

Solusinya? “Singkirkan 4 dinding ruang kelas, meja permen jellybean, kotak buku, pelajaran literasi yang terstruktur, dan semua itu, lalu lihat saja apa yang terjadi ketika anak-anak dibawa ke ruang yang benar-benar alami bagi mereka untuk belajar,” kenang Amber.

Bersama sekelompok murid yang sudah menunjukkan kemampuan mereka dalam bermain bermakna — yaitu jenis bermain yang mengajarkan melalui kegembiraan dan eksplorasi — Amber mempersiapkan Bush School. Dalam program ini, murid dibawa keluar dari lingkungan sekolah, lalu diberi kebebasan penuh untuk mengarahkan pengalaman belajar mereka sendiri. Sering kali, merekalah yang malah menjadi “guru” bagi para pendamping dewasa yang ikut serta.

Meyakinkan para murid ternyata mudah — “Untuk membuat anak-anak semangat, kami cukup bilang, ‘Hei, kita akan main di hutan.’ Dan mereka langsung antusias!” — namun Amber sempat khawatir soal dukungan dari orang dewasa di komunitasnya. Ternyata, kekhawatiran itu tidak perlu.

Hanya butuh meyakinkan beberapa orang tua untuk ikut dalam kegiatan yang pertama agar seluruh komunitas ikut mendukung. “(Para orang tua) sangat menikmati pengalaman berada di hutan bersama anak-anak mereka dan melihat langsung kegembiraan yang muncul di sana,” ujar Amber, sambil menyebut bahwa banyak keluarga yang akhirnya menerapkan konsep Bush School saat liburan musim panas.

Para orang tua pun menjadi lebih terlibat ke pembelajaran anak-anak mereka, dan sekolah jadi semakin terhubung dengan alam di lingkungan sekitar.

Jean Krishnan dan timnya di Take Kārara School di Wānaka menggunakan pendekatan ‘mengamati, mengenali, dan merespons’ untuk membimbing pembelajaran murid (murid belajar) di berbagai mata pelajaran, menggabungkan dengan mulus beberapa bidang pelajaran seperti matematika, ilmu sosial, dan lainnya.

Baru-baru ini, mereka melihat minat yang kuat dari para murid untuk mengeksplorasi bagaimana orang hidup, membangun rumah, dan mengekspresikan identitas budaya mereka. Sebagai tanggapan (tindak lanjutnya), Jean mengubah salah satu area kelas terbuka mereka menjadi ruang belajar khusus bertema ‘rumah’.

Ruang ini, yang dirancang dengan masukan dari para murid, memberikan mereka kebebasan untuk menyesuaikan dan menggunakan ruang tersebut untuk bermain sambil belajar yang mencerminkan latar belakang budaya yang beragam.

Melalui eksplorasi yang mendalam dan dipimpin oleh murid ini, anak-anak terlibat dalam pengalaman belajar yang bermakna yang memperdalam pemahaman mereka tentang praktik budaya, mendorong kerja sama, serta membuat pembelajaran menjadi lebih relevan dan hidup secara pribadi.

Pengajaran responsif Jean memastikan bahwa kegiatan eksplorasi ini terhubung dengan tujuan kurikulum yang lebih luas, sehingga menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan dinamis.

Contoh-contoh dari berbagai penjuru Selandia Baru ini menunjukkan bagaimana pembelajaran berbasis bermain dapat berkembang di berbagai lingkungan — mulai dari kawasan pesisir, hutan kota, hingga rumah keluarga.

Meski setiap pendidik menggunakan pendekatan yang unik sesuai dengan konteks lokal mereka, ada beberapa pelajaran penting yang bisa menjadi panduan bagi orang lain yang ingin menerapkan program serupa.

Pertama, dukungan dari komunitas pembelajaran sangat penting

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)