Topik:

Bernalar Kritis dengan Menulis, Membaca, dan Diskusi

Rabu, 03/02/2021 WIB   5113
discuss Peradaban-Literasi-Era-Digital

Pelajar Indonesia diharapkan memiliki minat dan keterampilan menulis karena melalui itu, mereka bisa memiliki beberapa karakter Pelajar Pancasila, yakni bernalar kritis serta kreatif

Namun sejatinya, menulis saja tidak cukup. Selain itu, yang tak kalah penting adalah gemar membaca dan tak segan terlibat dalam diskusi.

Seperti disampaikan dalam sejumlah artikel pendidikan di edutopia.org, pelajar diarahkan terlibat dalam model menulis untuk belajar (wrting to learn). Dalam model pembelajaran ini, aktivitas menulis dilakukan di semua mata pelajaran di mana siswa didorong untuk mengungkapkan apa yang dia tahu, apa yang dia tak tahu, hingga gagasan apa yang muncul di benaknya terkait topik pelajaran tertentu.

Meski struktur bahasa tidak terlalu diutamakan dalam aktivitas menulis untuk belajar, serta tidak menjadi pertimbangan utama penilaian oleh guru, namun akan jauh lebih baik apabila anak juga dilatih untuk menulis secara baik dan benar, hingga gagasannya mudah dipahami.

Untuk itulah diperlukan kebiasaan membaca. Mengapa demikian? Sebab dengan terbiasa membaca, tanpa disadari seseorang akan belajar cara menulis dari orang-orang yang lebih dulu menulis. Semakin banyak bahan bacaan yang dilahap, seseorang juga akan menemukan gaya tulisan yang menurutnya menarik, lalu mengadopsinya, hingga akhirnya mengembangkannya sendiri.

Namun yang lebih penting dari itu, dengan membaca seseorang akan menemukan atau melahirkan perspektif baru yang dapat menjadi modal penting bagi dia untuk mengembangkan gagasannya. Perspektif baru itulah yang nantinya akan dituangkan ke dalam tulisan sehingga dapat diketahui oleh orang lain, bukan untuk disimpan sendiri.

Perspektif baru juga bisa diperoleh melalui diskusi. Dalam hal ini, seseorang yang telah membaca lalu menuliskan gagasannya berdasarkan perspektif yang didapat dari membaca berbagai sumber bacaan, sebaiknya lebih sering terlibat dalam diskusi dengan orang lain. Sebab, dengan diskusi itu dia bisa mengevaluasi perspektifnya sendiri atau mengritik perspektif lain yang dimiliki orang lain. Tak kalah penting, lewat diskusi, seseorang juga belajar untuk terbuka terhadap ide-ide yang lain yang mungkin tak sesuai dengan idenya. Yang dimaksud dengan terbuka di sini bukan serta merta sepakat dengan ide tersebut, namun bersedia untuk mendengar dan menyimak, sekaligus berani mempertanyakannya dengan penuh toleransi dan hormat.

Semua ini bisa dilakukan di kelas atau di mana saja. Anak-anak yang sedang dilatih untuk membaca dan menulis, mestinya didorong untuk berani melontarkan gagasannya tersebut di depan orang lain dan siap menyimak argumentasi dari orang lain terkait gagasannya tersebut.

Tentu saja ini juga bisa dimulai di rumah. Caranya, orang tua sebaiknya senantiasa aktif berkomunikasi dengan anaknya dan mendorong mereka untuk berani mengemukakan pendapatnya. Sesekali orangtua perlu untuk menciptakan adu argumentasi demi merangsang munculnya kemampuan diskusi pada anak. Tentu saja, adu argumentasi ini mesti dibangun secara sehat, yakni tanpa harus serta merta mematahkan argumentasi anak. Jangan sampai adu argumentasi ini malah membuat anak-anak enggan untuk berdiskusi dan lebih memilih menyimpan gagasannya sendiri dan tak mau mendengar gagasan dari orang lain.

(Bagus Priambodo/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)