Dari Buku Deep Learning: Engage the World Change the World
Pembelajaran mendalam (deep learing) berbasis (yang menumbuhkan atau mendorong berkembangnya) 6C (berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, komunikasi, kewarganegaraan/global, dan karakter) bukan sekadar teori, tetapi sudah benar-benar dilakukan sejak lama oleh guru di berbagai negara
Hal tersebut mungkin terasa membingungkan bagi sebagian besar dari kita. Jadi, yuk kita lihat langsung ke beberapa ruang kelas di berbagai negara untuk memahami apa yang membuat cara belajar ini berbeda, dan bagaimana cara ini bisa membantu mengembangkan 6C.
Maksudnya hal tersebut mungkin terasa membingungkan: Banyak orang mungkin belum benar-benar memahami apa itu pembelajaran mendalam dengan kemampuan baru (yang menumbuhkan atau mendorong berkembangnya 6C) dan bagaimana cara kerjanya, sehingga terasa sulit dipahami di awal (karena pendekatannya berbeda dari cara belajar tradisional atau dari cara belajar biasanya).
Siswa Kelas 12 di Victoria, Australia
Saat para siswa mulai berkontribusi untuk lingkungan sekitarnya maupun komunitas global, mereka mulai memikirkan kembali peran mereka (berpikir ulang tentang peran mereka) — bukan hanya dalam proses belajar (bukan cuma soal belajar di sekolah), tapi juga soal bagaimana mereka bisa ikut mengubah dunia.
Mereka mulai mempertanyakan sistem sekolah yang selama ini dianggap baku, dengan bertanya “mengapa harus begitu?” dan “kenapa tidak bisa berbeda?”
Ketika mereka terlibat mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (hal-hal yang penting) dan relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari, mereka merasa bisa melakukan apa saja, tanpa batas.
Maksudnya: Para siswa merasa sangat bebas dan percaya diri dalam berpikir dan bertindak. Mereka tidak merasa dibatasi oleh aturan lama, hambatan, atau rasa takut. Mereka merasa tidak ada yang membatasi mereka, mereka merasa bebas untuk mencoba dan berkreasi, dan mereka melihat banyak kemungkinan, bukan batasan.
Obrolan Singkat (Tanya Jawab) Bareng Calon Wakil Rakyat (Politikus)
Para siswa di Bendigo Senior Secondary College, Australia, mengadakan acara khusus sebelum pemilu yang mereka beri nama Speed Dating with the Pollies. Dalam acara ini, mereka mengundang calon anggota parlemen setempat dan warga masyarakat untuk berdiskusi langsung.
Siswa kelas 12 dari program pembelajaran terapan di sekolah itu adalah pemilih pemula dalam Pemilu Federal tahun 2016. Karena itu, mereka merasa gugup dan bingung dengan berbagai isu, baik yang terjadi di sekitar mereka, di tingkat nasional, maupun di dunia.
Untuk membantu sesama siswa memahami dunia politik, mereka menyusun acara di mana siswa bisa bertemu langsung dengan para calon wakil rakyat, mengajukan pertanyaan soal berbagai masalah penting, dan akhirnya bisa memilih dengan lebih percaya diri dan berdasarkan informasi yang jelas.
Para siswa bahkan mengundang wali kota untuk ikut menjadi bagian dari panitia acara. Mereka bekerja sama dengan berbagai kelompok masyarakat, mengumpulkan informasi kebijakan dari masing-masing calon, dan menyiapkan semacam paket informasi untuk pemilih pemula menjelang acara berlangsung.
Melalui kegiatan ini, para siswa merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan bermakna. Mereka mendengarkan berbagai pandangan, mengikuti isu-isu penting, dan menyimak argumen dari para calon. Mereka juga terkejut saat mengetahui bahwa media tertarik pada pendapat mereka!
Tanpa mereka sadari, keterampilan berpikir kritis dan kepedulian sebagai warga negara mulai tumbuh. Awalnya mereka merasa hanya sedang mengatur acara, tapi ternyata mereka sedang belajar banyak hal — mulai dari ide dan istilah politik, hingga menghadapi pendapat yang berbeda dan pertanyaan-pertanyaan sulit.
Antusiasme masyarakat juga luar biasa. Beberapa sekolah swasta meminta izin untuk ikut hadir, dan para orang tua turut mengirimkan pertanyaan untuk sesi tanya jawab. Media lokal pun hadir dan menulis liputan positif tentang bagaimana para siswa terlibat aktif dalam proses politik (New Pedagogies for Deeper Learning, 2016).
Para siswa mulai memahami bahwa mereka tidak harus menunggu orang dewasa atau pemerintah untuk membuat perubahan. Mereka sendiri bisa ikut menyuarakan hal-hal penting, mengajak orang lain peduli terhadap isu tertentu, dan memicu tindakan nyata di lingkungan sekitar mereka.
Maksudnya: Siswa merasa punya kekuatan untuk memengaruhi orang-orang di komunitas mereka — bukan cuma jadi penonton, tapi ikut jadi penggerak perubahan.
Catatan Kami
Anak Muda yang Tahu Apa yang Mereka Lakukan
Satu hal penting yang sering terlupakan dalam pendidikan adalah kepercayaan pada kemampuan berpikir dan bertindak siswa. Namun di Bendigo Senior Secondary College, Australia, kepercayaan itu justru menjadi titik awal dari sebuah praktik pendidikan yang bermakna. Sekelompok siswa kelas 12, yang saat itu menjadi pemilih pemula pada Pemilu Federal 2016, menyadari bahwa mereka tidak cukup hanya belajar politik dari buku teks. Mereka butuh pengalaman nyata untuk memahami apa arti menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab.
Berangkat dari kegelisahan itu, mereka menginisiasi sebuah acara yang mereka beri nama Speed Dating with the Pollies. Gagasannya sederhana tapi berdampak besar, yaitu mempertemukan siswa dengan para calon anggota parlemen lokal untuk berdialog langsung. Tujuannya jelas, agar para siswa bisa bertanya, mendengar langsung jawaban dari para calon, dan pada akhirnya mampu mengambil keputusan secara sadar saat mereka memberikan suara di bilik pemilu.
Apa yang mereka lakukan bukan sekadar acara sekolah. Mereka menyusun panitia, mengundang wali kota, bekerja sama dengan berbagai komunitas, mengumpulkan data kebijakan dari masing-masing kandidat, dan bahkan menyusun materi informasi untuk pemilih pemula. Semua ini mereka kerjakan sendiri, tanpa menunggu arahan dari guru atau pemerintah.
Proses ini secara langsung membentuk rasa tanggung jawab dan keberanian untuk terlibat dalam persoalan publik. Siswa tidak hanya belajar teori tentang demokrasi, tetapi mengalami dan menjalankannya. Mereka menyusun pertanyaan kritis, menyimak jawaban yang beragam, dan menyadari bahwa pendapat mereka juga penting di mata media dan masyarakat.
Pengalaman itu menunjukkan satu hal penting, yakni siswa mampu berpikir kritis, mengambil inisiatif, dan menjadi bagian dari solusi jika diberikan ruang. Mereka membuktikan bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat tumbuh menjadi warga negara yang aktif.
Respons masyarakat juga membuktikan bahwa upaya siswa ini punya daya pengaruh. Sekolah swasta di sekitar meminta untuk ikut serta, orang tua mengirimkan pertanyaan untuk sesi tanya jawab, dan media lokal meliputnya secara positif. Ini bukan hanya soal acara, tapi soal bagaimana pendidikan bisa mendorong perubahan sosial.
Yang paling menarik, para siswa sendiri awalnya tidak sadar bahwa mereka sedang belajar hal-hal besar. Mereka mengira hanya sedang menyiapkan sebuah acara. Tapi di balik itu, mereka sedang mengembangkan keterampilan berpikir kritis, memahami bahasa politik, menimbang argumen yang berbeda, dan belajar menghadapi kenyataan bahwa perubahan membutuhkan suara dan tindakan.
Praktik ini tidak perlu dibuat muluk. Justru karena dijalankan dari kebutuhan nyata, inisiatif ini menjadi otentik. Sekolah tidak lagi menjadi ruang yang pasif, tapi berubah menjadi laboratorium kewargaan yang aktif.
Kita tidak kekurangan kurikulum tentang demokrasi. Tapi kita sering kekurangan kesempatan bagi siswa untuk menghidupkannya dalam tindakan nyata. Apa yang dilakukan para siswa di Bendigo bisa jadi contoh sederhana, tapi kuat, bahwa pendidikan akan selalu punya makna selama memberi ruang bagi siswa untuk bertindak, bukan sekadar memahami.
(Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)