Catatan: bila podcast pada player di atas error atau tidak terputar secara penuh, silahkan mendengarkan melalui Spotify
Apa yang kita lakukan saat mendengar itu? Langsung menghubungi gurunya? Marah? Atau justru meremehkannya?
Di episode kali ini, kita akan menyelami kisah nyata seorang ibu dan anak perempuannya yang menghadapi konflik emosional di sekolah. Mulai dari keluhan yang tampak sepele, hingga ketakutan yang membuat anak tak ingin sekolah lagi.
Bersama konselor berpengalaman, kita akan belajar bagaimana mengelola emosi anak, membangun komunikasi yang sehat, dan menyelesaikan konflik tanpa menyakiti pihak mana pun.
Podcast ini bukan hanya untuk orang tua, tapi juga untuk guru, pendidik, dan siapa pun yang peduli pada tumbuh kembang anak. Karena di balik konflik kecil, bisa jadi ada kebutuhan besar yang belum terpenuhi.
Temukan jawabannya, bagaimana seharusnya kita sebagai orang dewasa, mendampingi anak mengatasi konflik bukan dengan menyelesaikannya untuk mereka, tapi dengan membekali mereka keterampilan hidup yang akan mereka butuhkan selamanya.
Dengerin yuk!
Script kami
Eveline Gan, seorang penulis, mencari solusi dengan seorang konselor untuk menangani masalah yang dihadapi olehnya dan anak perempuannya yang berusia 10 tahun, J.
Semuanya dimulai dengan perubahan perilaku yang aneh: mood swings, keluhan sakit perut, dan rasa mual di pagi hari.
Setelah episode menangis yang cukup mengharukan, Eveline sadar bahwa ada yang mengganggu anak perempuannya yang berusia 10 tahun.
“Guruku tidak suka padaku. Aku tidak ingin pergi ke sekolah,” kata J setelah beberapa dorongan.
Konflik, ketidaksepakatan, dan interaksi sosial sulit adalah bagian dari kehidupan.
Kadang-kadang, anak Eveline pulang dengan kesedihan setelah bertengkar dengan teman sekolahnya (“Seseorang mengatakan gambarku jelek!”) atau konflik yang lebih serius (“Jason mendorong dan menyebutku pecundang!”).
Ms. Celynn Chang, manajer di Pusat Intervensi Klinis Boys’ Town, seorang konselor senior, mengatakan bahwa anak sering kesulitan mengatasi konflik sosial karena mereka belum punya ketrampilan untuk mengelola emosi mereka.
Anak perlu belajar mengatur emosi sebelum bisa menghadapi masalah.
Dalam pekerjaannya, ia membekali anak-anak dengan alat yang diperlukan untuk menghadapi situasi sosial yang sulit.
Kemampuan mengatasi konflik adalah keahlian yang perlu dimiliki setiap anak seumur hidup.
Ia menegaskan, ini bukan hanya untuk membangun hubungan positif yang penting untuk perkembangan sehat, tetapi juga untuk memperkuat ketahanan anak.
Anak-anak sering diminta melaporkan masalah kepada orang tua dan guru, tapi bagaimana jika anak mengalami masalah dengan guru? Dan apa yang seharusnya orang tua lakukan?
Ms. Chang menjelaskan bahwa konflik dengan sosok otoritas bukan hal yang langka dan seringkali sulit bagi anak-anak untuk menyelesaikannya sendiri.
“Pendekatan menangani situasi seperti itu tergantung pada usia anak dan seberapa serius masalahnya,” ujarnya.
Anak usia remaja bisa diberi kesempatan untuk menyelesaikan konflik dengan bimbingan orang tua jika situasinya memanas. Anak usia sekolah dasar mungkin memerlukan bantuan lebih banyak.
Hindari Buat Kesimpulan Tergesa-gesa
Sebagai orang tua, kita sering kali ingin segera mengambil kesimpulan saat anak terlibat konflik.
Tapi, tergantung pada kepribadian dan cara kita mendidik anak, kita mungkin cenderung mengabaikan keluhan anak atau langsung membela mereka.
Dalam kasus J, keduanya tidak terlihat ideal.
Meremehkan masalah anak akan meninggalkan masalah yang lebih besar mengingat sifat pendiam dan kecemasan sosialnya.
Sementara menyalahkan guru sepenuhnya tidak selalu tepat saat ada konflik atau perbedaan pendapat.
Setelah melalui berbagai wawancara sebagai penulis, Eveline menyadari bahwa setiap orang memiliki pandangan dan persepsi masing-masing terhadap kebenaran.
Meskipun ada kasus di mana salah satu pihak jelas salah, biasanya ada dua sisi cerita.
Jadi, Eveline mencoba memahami situasi dengan kepala dingin.
Mencari Informasi Lebih Lanjut
Setelah anaknya mengatakan bahwa ia beberapa kali ditegur “tanpa alasan” oleh guru terkait pekerjaan rumah, Eveline menahan diri untuk tidak langsung menghubungi guru.
Dengan menahan emosi, Eveline bertanya kepada putrinya dengan pertanyaan terbuka: Kapan dan di mana kejadiannya? Guru menyebut pekerjaan rumah dan berkas apa? Apa yang sebenarnya dikatakan guru? Bagaimana kamu merespon guru?
Itu memberi Eveline gambaran lebih jelas tentang situasinya.
Mendengarkan cerita anak juga membantu putrinya memahami apa yang terjadi dengan lebih tenang.
Ms. Chang menekankan pentingnya mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari anak sebelum menghubungi guru.
“Meskipun keluhan anak terhadap guru bisa sah, kadang-kadang masalahnya bisa ada pada gaya mengajar guru, yang menyebabkan konflik,” katanya.
Ia juga menyarankan agar orang tua tidak merendahkan otoritas guru meskipun ada perasaan negatif.
Mencari Kesamaan Pendapat
Meski telah memberikan saran, Eveline tidak bisa membantu anaknya mengatasi kecemasan dan ketakutannya.
Penolakan untuk pergi ke sekolah semakin parah, sehingga Eveline memutuskan untuk berbicara dengan gurunya.
Ternyata, ada serangkaian kesalahpahaman antara guru dan putrinya, yang mengalami kesulitan mengejar ketertinggalan tugas sekolah setelah absen karena sakit.
Di sisi lain, guru tidak tahu bahwa anak Eveline yang pendiam sedang mengalami kesulitan dan sangat takut padanya.
Sang guru pun meminta maaf atas kekacauan yang terjadi dan berterima kasih atas penjelasan yang diberikan.
Dari pihak Eveline, ia juga meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan kepada guru, dan berjanji akan membantu anaknya untuk meningkatkan keterampilan komunikasi dan manajemen waktu.
Ms. Chang menekankan pentingnya orang dewasa sebagai contoh bagi anak dalam menyelesaikan situasi sulit.
Daripada memulai percakapan secara menuduh, ia menyarankan agar orang tua mencari masukan dari guru tentang anak mereka sebelum menyatakan kekhawatiran mereka.
“Jangan gunakan pernyataan ‘kamu’ (contohnya, ‘anak saya bilang kamu tidak menyukainya’) karena akan terasa menyalahkan,” saran Ms. Chang.
Kontak teratur dengan guru juga akan membantu pemahaman dan komunikasi.
“Jika guru memberikan perhatian lebih kepada anakmu, luangkan waktu untuk mengucapkan terima kasih kepadanya,” tambahnya.
Melibatkan kepala sekolah sebagai pihak ketiga untuk mengevaluasi situasi bisa jadi langkah terakhir jika tidak ada perbaikan atau respons.
Setelah percakapan telepon, sang guru berbicara dengan putri Eveline keesokan harinya untuk mengklarifikasi kesalahpahaman dan menenangkan pikirannya.
Eveline sangat berterima kasih atas usaha ekstra yang ia lakukan.
Yang terpenting, Eveline merasa lega bahwa ia tidak terburu-buru mengambil keputusan dan memihak pada salah satu pihak.
Putri Eveline masih belajar mengelola emosi dan belajar cara menangani konflik.
Namun, pelajaran penting yang ia dapatkan dari peristiwa ini adalah bahwa berbicara akan menyelesaikan masalah, sementara membiarkan emosi negatif berkembang hanya akan menyakitinya.
Tips untuk Membantu Anak Mengatasi Konflik
Ms. Celynn Chang, seorang konselor senior, membagikan beberapa tips tentang cara membantu anak mengatasi konflik:
Kenali dan Pahami Emosi Mereka
Gunakan alat visual yang menunjukkan berbagai ekspresi wajah untuk membantu anak mengidentifikasi emosi mereka.
Misalnya, “termometer perasaan” bisa membantu anak mengukur intensitas emosi mereka.
Jika emosi sedang tinggi, ajarkan mereka cara meredakannya dengan cara seperti bernapas dalam-dalam atau menghitung.
Komunikasi yang Efektif
Ajarkan anak menggunakan pernyataan “saya” daripada “kamu”.
Misalnya, “Saya merasa kesal karena pensil saya diambil tanpa izin” daripada “Kamu mengambil pensil saya tanpa izin”.
Berperan sebagai percakapan sulit juga bisa membantu anak untuk siap menghadapi konflik.
Temukan Akar Masalah
Anak mungkin butuh bantuan untuk mengetahui apa yang mengganggu mereka.
Diskusikan dengan mereka kemungkinan situasi konflik saat berinteraksi dengan teman atau guru.
Mengetahui sumber konflik akan mempermudah penyelesaiannya.
Keterampilan Menyelesaikan Masalah
Ajak anak mencari beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah.
Diskusikan kelebihan dan kekurangan dari setiap solusi sebelum memutuskan solusi terbaik.
(Sumber: https://www.schoolbag.edu.sg/story/she-pushed-me!-i-hate-my-class!-how-i-work-through-my-kid-s-conflicts-while-keeping-my-cool/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)