Pendidikan Berbasis Budaya dan Bahasa Ibu, Kunci Meningkatkan Angka Partisipasi Sekolah

Kamis, 22/05/2025 WIB   542
Layer-29

Kini, Suku Santal telah berubah. Padahal beberapa tahun silam (sejak 2004-2005), Menteri Pengembangan Sumber Daya Manusia India melansir jumlah angka putus sekolah pendidikan dasar 9 tahun masyarakat suku Santal di Negara bagian West Bengal dan Jharkhand India mencapai hingga 89 persen

Untuk menekan angka putus sekolah, sama halnya dengan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Indonesia, Saat itu, pemerintah India juga mempunyai seperangkat aturan hukum yang menggratiskan biaya pendidikan wajib sekolah 9 tahun.

Program sekolah gratis rupanya belum mempengaruhi jumlah peserta wajib belajar. Di tahun yang sama, pemerintah India melansir, angka putus sekolah di 418 suku-suku lainnya di India mencapai 79 persen.

Apa yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah di kalangan masyarakat suku itu?

Pemerintah memang mempunyai program terobosan mengentaskan kemiskinan, namun tetap saja kesulitan mengakomodasi keberagaman budaya dan bahasa ratusan suku di India yang mempunyai dialek berbeda satu sama lainnya. Itu belum termasuk kebiasaan mereka dalam memilih pekerjaan hingga tantangan geografis tempat tinggal suku itu.

Boro Baski, seorang tokoh pendidikan dan orang pertama yang bergelar master di suku itu faham benar dengan tabiat masyarakat Santal yang terbiasa dengan hidup berpindah-pindah secara acak melebihi budaya suku Bengali karena Boro Baski sendiri lahir dan tumbuh dewasa di desa Santal. Tidaklah mudah memahami suku Santal, demikian juga dengan anak-anak suku Santal untuk menerima pendidikan.

Menurut berbagai sumber, Suku Santal merupakan suku terbesar di India dengan jumlah penduduk lebih dari 3 juta jiwa. Santal berarti berbicara Santali dan merupakan pra-suku Dravida yang non-Hindu. Mereka tinggal secara berkelompok di desa-desa yang disebut pargana. Banam adalah alat musik dari suku yang dikenal dengan ilmu sihir dan penyembahan bongas.

Salah satu persoalan pokok dalam pendidikan suku Santal adalah adanya konflik persoalan pendidikan yang terkesan membaurkan kaum minoritas ke dalam budaya mainstream, — budaya kebanyakan orang –. Akibatnya, anak-anak Santal menghadapi dilema yang hebat manakala mereka dipaksa menanggalkan budaya mereka sendiri dan menerima nilai-nilai yang diajarkan di sekolah.

Tidak hanya itu, kesan pendidikan formal yang bertujuan memenangkan “ujian” untuk mendapatkan pekerjaan layak, juga sulit diterima oleh Suku Santal yang hidup dengan ala kadarnya. Mereka hampir tidak punya gereget apapun untuk bersaing meraih keberhasilan dan kehidupan di Santal sendiri tidaklah ditandai dengan suasana disiplin yang formal.

Tidak hanya itu, sekolah cenderung ditandai sebagai tempat yang menyakitkan bagi anak-anak. Sebagian besar guru di Santal, bukanlah dari masyarakat Santal. Mereka berasal dari sekolah kelas menengah dan hampir tidak peka dengan kehidupan dan dunia sosial budaya anak-anak Santal.

Anak-anak suku Santal tidak memahami bahasa yang disampaikan oleh pengajarnya. Di sekolah mereka diwajibkan menghafal pelajaran tanpa memahami apa isinya. Kondisi inilah yang membuat mereka antipati dengan sekolah dan memilih menggembala sapi atau kambing.

Kebijakan sistem pendidikan bagi anak-anak suku di India yang tidak efektif iini berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan dari generasi ke generasi. Konflik inilah yang membuat sejumlah besar suku di daerah Lalgarh Bengal Selatan mengumumkan gerakan anti kerjasama melawan pemerintahan setempat.

Aksi ini disebut media massa lokal disana sebagai “revolusi suku”. The Statesman, koran harian di India yang
berbasis di Kolkata, menyebutkan “Peristiwa Lalgarh” adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak efektif selama bertahun-tahun terhadap daerah-daerah yang bersuku-suku.”

Perubahan

Sekitar tahun 1996, Ghosaldanga Adibasi Seva Sangha (GASS), salah satu NGO di India mulai merintis sekolah non formal suku Santal Rolf Schoembs Vidyashram (RSV) yang berada di desa Ghosaldanga. Nama sekolah itu diambil dari ilmuwan astrofisik asal Munich yang juga donatur berdirinya sekolah itu yang memiliki 5 kelas mulai Taman Kanak-kanak hingga kelas 4.

Hingga saat ini, Boro Baski masih mengajar di sekolah yang terletak sekitar 10 km (kilometer) dari Universitas Visva-Bharati milik Rabindranath Tagore di Santiniketan, 150 km barat laut Kolkata. Dia punya ratusan murid dari beberapa desa yang dihuni suku Santal.

Tidak hanya asrama murid, sekolah ini juga mempunyai arena bermain, kebun buah-buahan, kolam pancing dan sebuah toko roti. Mereka mengajar anak-anak menggunakan bahasa ibu mereka Santali, bukan bahasa Bengali yang merupakan bahasa dominan di wilayah tersebut.

Setelah bersekolah selama 18 bulan secara bertahap pengajaran diganti dalam bahasa Bengali. Huruf Bengali dipakai langsung saat pertama mengajar. Boro Baski dan rekan-rekannya mengajarkan huruf dan angka Bengali melalui lagu-lagu tradisional suku Santal.

Sebagian besar pembelajaran dilakukan pada saat aktivitas kelompok dalam atmosfir yang menyenangkan. Dia juga menyadur tarian, musik, mitos, cerita rakyat dan sejarah suku Santal untuk metode pengajarannya. Sekolah dimulai pada pagi hari dengan doa dan meditasi dengan gaya suku Santal. Lalu murid-murid belajar, berkebun, bermain, bernyanyi, menari, melukis, makan siang lalu pulang.

Metode pendidikan tersebut mengurangi angka putus sekolah secara drastis dan anak-anak menemukan kesenangan dan antusiasme dalam belajar. Mereka bisa membaca dan menulis, bahkan meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Untuk mendekatkan kembali pendidikan kepada suku Santal lainnya, tahun 2006 Boro Baski dan beberapa pengajar membangun “rumah murid” yang bertujuan menyiapkan murid percontohan yang mampu menjadi inspirasi bagi anak-anak lainnya.

Pihaknya juga menciptakan tokoh panutan, di luar buku diktat yang diterbitkan pemerintah yang mengenalkan tokoh Rabindranath Tagore dan Mahatma Gandhi. Boro Baski dan para pengajar lainnya juga mengenalkan Asmartya Sen yang tempat tinggalnya hanya berjarak 6 kilometer dari desa suku Santal. Pengenalan tokoh ini ternyata menjadi inspirasi bagi para orang tua murid.

Para orang tua murid memiliki forum di sekolah, dimana mereka datang bersama sekali dalam 2 atau 3 bulan untuk membahas perkembangan anak-anak dan sekolah. Mereka juga menawarkan pelayanan jasa gratis untuk sekolah, seperti membersihkan kebun buah-buahan, bekerja di kebun sayur atau meratakan jalan dan area permainan.

Orang tua juga membayar iuran bulanan. Bagi yang tidak mampu membayar dalam bentuk uang tunai bisa dalam bentuk nasi, kentang, sayur dan seterusnya. Orang tua juga secara aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan budaya di sekolah.

Kondisi pun telah berubah. Masyarakat suku Santal telah membuka diri. Beberapa organisasi sosial asal Bangladesh, Jerman, Austria dan Inggris Raya sering bertukar informasi dengan keberhasilan suku Santal yang membangun sebuah konsep pendidikan yang merubah pandangan suku Santal terhadap dunianya.

(Sumber: Dandc/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)