Siswa di Jerman Ingin Bacaan Teks Sastra di Sekolah Relevan dengan Kehidupan Mereka dan Sesuai Perkembangan Zaman

5 jam lalu WIB   8
Tips-for-Book-Festival-First-Timers-1

Pendidikan adalah cerminan dari masyarakat yang melingkupinya. Namun, dalam banyak hal, kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah Jerman tidak sepenuhnya mencerminkan keragaman yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam pemilihan materi ajar, khususnya dalam bidang sastra, di mana mayoritas karya yang diajarkan berasal dari penulis klasik pria kulit putih, seperti Johann Wolfgang von Goethe dan Heinrich von Kleist. Meskipun karya-karya ini dihargai karena kontribusinya terhadap budaya dan sastra Jerman, banyak siswa merasa kurang terwakili oleh teks-teks tersebut.

Situasi ini semakin mengemuka dengan banyaknya suara dari para siswa yang menginginkan adanya perubahan dalam kurikulum. Orçun Ilter, seorang siswa SMA di Berlin, misalnya, mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap The Broken Jug karya Kleist. Alih-alih menikmati karya tersebut, Ilter lebih tertarik membaca buku dari penulis kontemporer seperti Tahsim Durgun, yang berbagi cerita hidupnya sebagai seorang anak Kurdi Yazidi yang berimigrasi ke Jerman. Ilter merasa bahwa suara-suara seperti Durgun, yang mewakili pengalaman imigran, sangat jarang terdengar dalam buku-buku yang diajarkan di sekolah.

Masalah ini semakin mendalam dengan data yang menunjukkan bahwa hanya sekitar 20% dari karya-karya yang diwajibkan dalam ujian Abitur yang ditulis oleh penulis wanita. Penulis dengan latar belakang imigran atau penulis kulit berwarna hampir tidak ditemukan dalam daftar bacaan wajib. Padahal, lebih dari 25% dari populasi Jerman memiliki latar belakang imigran, dan angka ini jauh lebih tinggi di kalangan anak muda, khususnya di kota-kota besar seperti Berlin. Di distrik Neukölln, lebih dari 70% anak-anak berasal dari keluarga imigran, yang seharusnya mendorong agar kurikulum lebih representatif terhadap keberagaman ini.

Namun, meskipun terdapat otonomi bagi masing-masing sekolah dalam memilih materi ajar, banyak guru yang merasa terbentur oleh kendala waktu dan biaya. Mengubah kurikulum agar mencakup karya-karya kontemporer atau karya penulis wanita membutuhkan biaya tambahan untuk memperoleh materi yang tidak termasuk dalam kanon sastra klasik. Oleh karena itu, karya-karya seperti Faust karya Goethe tetap mendominasi ruang kelas, meskipun banyak siswa merasa karya-karya tersebut tidak relevan dengan pengalaman mereka.

Beberapa daerah seperti Berlin dan Brandenburg telah mencoba mengatasi ketimpangan ini dengan menambahkan setidaknya satu teks kontemporer karya penulis wanita dalam kurikulum mereka. Meskipun ada upaya untuk merangkul keberagaman dalam pemilihan bahan ajar, banyak siswa masih merasa bahwa literatur yang diajarkan tidak mencerminkan dunia mereka saat ini. Mereka merasa bahwa pelajaran sastra sering kali terlalu jauh dari kenyataan hidup yang mereka alami.

Quentin Gärtner, seorang siswa yang baru saja lulus, menyoroti ketidakmampuan pelajaran sastra untuk menarik minat para siswa. Sebagai seorang aktivis pendidikan, Gärtner percaya bahwa kurikulum harus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan lebih banyak mengajarkan keterampilan yang relevan dengan dunia modern, seperti kecerdasan buatan dan pendidikan demokrasi. Ia mengusulkan agar sekolah-sekolah mengurangi fokus pada karya-karya klasik yang sudah usang, dan lebih banyak membahas topik-topik yang lebih berhubungan langsung dengan kehidupan siswa.

Selain itu, Gärtner juga mengkritik sistem pendidikan yang dinilainya terjebak dalam status quo, dengan banyak pihak yang tidak terbuka terhadap perubahan. Hal ini terkait dengan dominasi kelompok usia tua dalam politik, yang lebih cenderung memperhatikan kepentingan pemilih senior, sementara generasi muda jarang mendapatkan perhatian. Meskipun demikian, Gärtner tetap optimis bahwa jika sistem pendidikan diberi ruang untuk berkembang, banyak siswa yang akan lebih tertarik membaca karya-karya klasik, asalkan pendekatan pengajarannya lebih menarik dan relevan.

Meski ada tantangan besar dalam sistem pendidikan Jerman, beberapa perkembangan positif tetap dapat dilihat. Misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun sebagian anak muda tidak menyukai buku yang direkomendasikan oleh guru, mereka tetap gemar membaca, terutama melalui media sosial seperti #BookTok.

Hal ini menunjukkan bahwa minat membaca di kalangan generasi muda tetap tinggi, meskipun mereka cenderung lebih memilih bahan bacaan yang lebih dekat dengan kehidupan mereka.

Susanne Lin-Klitzing, seorang mantan guru bahasa Jerman, berpendapat bahwa keberagaman dalam teks sastra harus ditingkatkan. Ia mengusulkan agar selain karya-karya klasik, siswa juga diberikan kesempatan untuk membaca teks-teks kontemporer yang mewakili beragam perspektif, termasuk karya-karya penulis wanita dan penulis dari luar Jerman. Ini akan memberikan siswa pemahaman yang lebih luas mengenai berbagai pengalaman dan perspektif yang ada di dunia ini.

Selain itu, Lin-Klitzing juga menekankan pentingnya membaca karya klasik untuk memahami masa lalu dan memperkaya pemikiran kritis siswa. Membaca karya-karya seperti Faust atau Antigone bukan hanya untuk memperkuat struktur kekuasaan yang ada, tetapi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam melihat dan menganalisis berbagai pandangan yang ada, baik di masa lalu maupun masa kini.

Menghadapi tantangan keberagaman dalam pendidikan, Jerman harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan kultural. Untuk itu, penting bagi kurikulum untuk mencerminkan kenyataan hidup para siswa, yang semakin beragam, dengan menyajikan literatur yang tidak hanya klasik, tetapi juga kontemporer dan relevan dengan kehidupan mereka. Dalam hal ini, reformasi pendidikan menjadi kunci untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif dan sesuai dengan perkembangan zaman.

(Sumber catatan: DW/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari DW)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)