Tidak banyak yang akan membantah fakta bahwa peluang yang ada di kehidupan kita ini berkaitan erat dengan peluang pendidikan. Namun, kita sering kali menyalahartikan bahwa memberikan akses pendidikan yang seimbang kepada siswa berarti menuntut semua siswa menerima tingkatan, sumber daya, dan pembelajaran yang sama persis. Hal ini kemudian menghasilkan sistem pendidikan yang kita kenal dengan istilah sistem pendidikan “1 untuk semua’. Pembelajaran berdiferensiasi menyadari bahwa semua siswa tidaklah sama dan akses pendidikan yang seimbang memiliki arti bahwa semua siswa harus diberikan sumber daya, pembelajaran, dan dukungan untuk mencapai tujuan itu.
—John Stroup, mahasiswa doktoral dari University of Virginia
“Di daerah saya guru diminta untuk menerapkan pembelajaran differensiasi,” kata wanita muda itu, “jadi mereka membuat semacam buku catatan yang di dalamnya berisikan sekumpulan strategi untuk menerapkan pembelajaran diferensiasi yang dimaksud. Sangat keren dan berdedikasi tinggi.”
“Baguslah kalau kamu merasa itu bermanfaat,” jawab saya.
Dia berhenti sejenak lalu lanjut melontarkan komentarnya. “Benar, menurut saya memang bermanfaat,” katanya. “Saya menerapkan semua strategi yang tertera di buku itu. Oleh karena itu, saya sudah tidak sabar membaca buku strategi diferensiasi selanjutnya.”
Dia bingung. Dia sudah menerapkan strategi-strategi diferensiasi ini dari awal hingga akhir dan masih belum mengerti langkah apa yang harus dia ambil selanjutnya karena dia tidak memahami bagaimana buku catatan itu bisa menghasilkan ide-ide yang tercantum dan membuat dia merasa tidak memiliki dasar untuk memantau progresnya sendiri. Dia jadi paham apa yang dimaksud Ralph Waldo Emerson ketika dia mengatakan bahwa jika kita hanya mempelajari motodenya saja maka kita hanya akan bergantung pada metode itu, namun sebaliknya jika kita bisa memahami dasar-dasarnya kelak kita bisa menghasilkan metode kita sendiri. Obrolan saya dengan guru muda tersebut membahas beberapa kesalahpahaman umum yang ada di masyarakat mengenai diferensiasi:
*Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Kelas Berdiferensiasi?, Memimpin Kelas Berdiferensiasi dan Filosofi sebagai Pedoman Guru yang Menerapkan Pembelajaran Bediferensiasi
Dengarkan Podcast MSG (Mikir Sing Genah) untuk Pendidikan di Anchor dan Spotify
Bab ini bertujuan untuk memberikan ringkasan mengenai pembelajaran diferensiasi; penjelasan lengkap mengenai elemen-elemen di atas dapat dibaca melalui sumber-sumber lainnya. (e.g., Tomlinson, 1999, 2001, 2004; Tomlinson, Brimijoin, & Narvaez, 2008; Tomlinson & McTighe, 2006). Pehamahan mengenai elemen-elemen diferensiasi di atas, dan bagaimana elemen tersebut berkaitan dan berpengaruh pada pembentukan sistem kelas, menunjukkan adanya eksplorasi yang lebih mendalam mengenai filosofi diferensiasi (yang mengarah pada cara guru mengelola dan mempimpin kelas berdiferensiasi secara efektif). 2 bab berikutnya harus sudah meluruskan kesalahpahaman mengenai diferensiasi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya dan membantu mempersiapkan guru menjadi pemimpin diferensiasi secara efektif baik di kelas maunpun di sekolah mereka.
Elemen-elemen utama pembelajaran berdiferensiasi
Pembelajaran berdiferensiasi dapat diartikan sebagai praktik kelas yang berorientasi pada siswa secara individual dan materi pembelajarannya. Dengan kata lain, di kelas berdiferensiasi:

Inti dari praktik berdiferensiasi di kelas adalah perubahan 4 elemen kurikulum: konten, proses, produk, dan dampak yang berdasarkan pada 3 kategori kebutuhan dan varian siswa: tingkat kesiapan, minat, dan profil belajar siswa.
Konten
Pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang harus dipelajari siswa.
Selama penerapan pembelajaran berdiferensiasi, kami memprioritaskan metode-metode yang digunakan siswa untuk mengakses konten utama (contohnya, membaca secara individu, membaca secara berpasangan, mendengarkan teks melalui kaset, teks dengan gambar, kemampuan mendengarkan, penelitian daring, berkomunikasi dengan para ahli, demonstrasi kelompok, pembelajaran secara berkelompok) daripada merubah konten itu sendiri (Tomlinson & McTighe, 2006). Namun, ada kalanya siswa harus memahami konten prasyarat untuk bisa memahami konten lanjutan. Misalnya, ketika siswa dengan tingkatan lebih tinggi memahami konten lebih cepat dari teman-temannya yang lain dan ketika Program Pembelajaran Individual siswa membuat guru untuk mengubah konten itu sendiri.
Proses
Tahap di mana siswa mulai memahami konten tersebut.
Pembelajaran nyata (pengalaman)—atau apa pun yang dapat membuat siswa mengingat, menerapkan, dan mengaplikasikan konten—harus dirasakan dan dialami langsung oleh siswa (National Research Council, 2000; Wiggins & McTighe, 1998). Kata “proses” sering digunakan sebagai sinonim dari “serangkaian aktivitas”. Namun, aktivitas bisa saja tidak selaras dengan tujuan konten dan gagal menuntut siswa untuk mempertimbangkan, bergulat dengan, atau memanfaatkan ilmu pengetahuan, pemahaman, dan keterampilannya. Oleh karena itu, lebih tepat jika kita menggantinya menjadi “kegiatan yang tepat” untuk menekankan bahwa apa yang kita ajarkan dan minta siswa pelajari dapat membantu mereka memahami kontennya, sadar bahwa kontennya tepat, dan sadar betapa bergunanya konten itu untuk mereka di kehidupan nyata.
Produk
Tahap di mana siswa mulai dapat menunjukkan apa yang mereka ketahui, pahami, dan dapat lakukan setelah proses pembelajaran yang panjang.
Produk atau hasil bukanlah sesuatu yang berasal hanya dari satu (1) pembelajaran atau pun hasil dari beberapa kegiatan saja. Sebaliknya, produk merupakan pencapaian puncak yang memungkinkan siswa menerapkan dan mengembangkan apa yang telah mereka pelajari selama pembelajaran ini. Ujian juga termasuk dalam karakteristik ini karena ujian mengahadapkan siswa dengan masalah kompleks yang harus dipecahkan dan ditangani dan dalam penanganannya menuntut pehahaman mengenai gagasan utama, transfer pengetahuan, dan penerapan keterampilan. Penilaian autentik yang dirancang secara efektif juga pasti memiliki karakteristik ini.
Dampak
Tahap di mana emosi dan perasaan siswa memengaruhi pembelajaran mereka.
Emosi dan perasaan berasal dari otak manusia berdasarkan pengalaman masa lalu dan reaksi terhadap pengalaman saat ini. 2 hal ini berdampak pada motivasi siswa untuk belajar, kemampuan bekerja sama, dan konsep diri sebagai pembelajar. Dengan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa dampak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum. Siswa yang memiliki impresi positif terhadap pembelajaran dan dirinya sendiri sebagai pembelajar akan memungkinkan pertumbuhan akademiknya. Sebaliknya, impresi negatif berdampak pada pembelajaran dan kemampuan siswa sebagai pembelajar dan akan mempersempit peluang pertumbuhan akademiknya. Guru yang ahli dalam bidangnya tidak hanya mengobservasi perilaku siswa; mereka juga berupaya memahami dampak yang dapat memengaruhi perilaku siswa agar siswa dapat tetap berada di jalur yang positif dan tepat.
Tingkat kesiapan
Kesiapan siswa saat ini untuk menerima atau mencerna ilmu pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan tertentu.
Perlu ditekankan bahwa tingkat kesiapan tidak sama dengan kemampuan atau bakat dan 2 istilah ini tidak seharusnya digunakan secara bergantian. Istilah “kemampuan atau bakat” memiliki konotasi bahwa bakat kurang lebih merupakan sifat bawaan manusia. Di sisi lain, kesiapan merupakan kondisi sementara yang akan terus berubah secara teratur sebagai hasil dari pengajaran berkualitas. Nantinya di bab ini Anda akan ditunjukkan bahwa mengajar dengan mempertimbangkan “tingkat kesiapan siswa” lebih bermaanfaat bagi baik siswa dan guru daripada dengan mempertimbangkan “kemampuan siswa”. Untuk dapat berkembang secara akademis, siswa harus terus mengerjakan tugas khususnya tugas yang berfokus pada pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan penting serta sedikit lebih sulit dari tingkat kesiapan siswa. Selain itu, siswa juga harus memiliki orang-orang yang senantiasa mendukung mereka seperti teman sebaya atau guru untuk membantu mereka mengatasi situasi sulit akibat tugas yang memerlukan tingkat kesiapan yang lebih tinggi (Sousa, 2001; Vygotsky, 1978, 1986; Wolfe, 2010).
Minat
Tahap yang melibatkan perhatian, rasa ingin tahu, dan keterlibatan siswa.

Minat siswa berkaitan erat dengan motivasi siswa untuk belajar (Collins & Amabile, 1999; Csikszentmihalyi, 1990). Ketika siswa tertarik terhadap sesuatu, motivasi mereka untuk belajar bertambah dan dengan itu, pembelajarannya bisa lebih ditingkatkan. Minat pribadi biasanya terkait dengan kelebihan, budaya, pengalaman pribadi, pertanyaan-pertanyaan yang dimiliki siswa (keingintahuan), dan kebutuhan siswa.
Profil belajar siswa
Preferensi siswa dalam menerima, mempelajari, dan mengekspresikan konten.
Profil belajar siswa dibentuk oleh 4 elemen penting dan interaksi antar elemen:
Guru di kelas berdiferensiasi selalu berupaya mengembangkan dan meningkatkan wawasannya tentang tingkat kesiapan belajar, minat, dan profil belajar siswa. Untuk menghasilkan pembelajaran yang dapat memaksimalkan peluang pertumbuhan akademik siswa, guru harus memodifikasi konten, proses, hasil, dan dampak. Gambar 1.1 menunjukkan contoh penerapan konten, proses, dan hasil di kelas. Sebaliknya, kebutuhan emosional siswa umumnya terpenuhi ketika guru menyesuaikan lingkungan belajar siswa alih-alih 3 elemen yang sudah disebutkan sebelumnya.
Direferensiasi dan sistem kelas
Pembelajaran berdiferensiasi merupakan metode pendekatan belajar-mengajar berprinsip dan diterapkan di sistem kelas yang memiliki 4 elemen yang saling berhubungan: lingkungan belajar, kurikulum, penilaian, dan pembelajaran. Di kelas, ada lingkungan belajar yang terbentuk dari keyakinan, pengalaman, dan tindakan guru. Ada juga kurikulum yang terbentuk dari pengetahuan guru tentang konten, materi teks, serta mandat lokal atau federal. Ada beberapa jenis penilaian yang sekali lagi terbentuk oleh guru dan faktor-faktor lain yang memengaruhi guru tersebut. Akhirnya, semua kelas mendapatkan manfaat dari pembelajaran yang dirancang oleh masing-masing guru (atau mengikuti desain yang telah ditetapkan) dan menerapkannya. Cara guru membayangkan dan menerapkan masing-masing elemen ini membentuk elemen-elemen lainnya. Contohnya, penilaian yang kerap membuat siswa merasa terpojok akan berdampak buruk pada lingkungan belajar siswa. Demikian juga, kelas dengan kurikulum yang sudah ditentukan di mana guru memiliki sedikit atau tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk membuat keputusan demi muridnya (siswanya) akan membatasi pembelajaran guru.
Jenis diferensiasi yang digunakan dalam buku menunjukkan bahwa masing-masing dari 4 elemen ini harus dipertajam dan diperkuat guna memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk memaksimalkan kapasitas belajar mereka. Kelas akan berfungsi sebagaimana mestinya jika masing-masing elemen—baik secara terpisah maupun bersama-sama—mendukung pembelajaran maksimal bagi setiap siswa.
Lingkungan belajar
Konteks fisik dan emosional di mana pembelajaran berlangsung.
Penampakan, pengorganisasian, dan struktur kelas dapat membuat pembelajaran jauh lebih menarik, menampilkan karya siswa secara efektif, memberikan ruang untuk tugas individu dan tugas kolaborasi, memberi akses materi dan sumber daya yang mudah, menentukan penempatan furnitur berdasarkan masukan siswa daripada preferensi guru, dan mendukung siswa menghasilkan pekerjaan berkualitas. Sebaliknya, lingkungan fisik kelas dapat menyurutkan pembelajaran karena terlihat tidak menarik, membosankan, sempit, berfokus pada guru, menganggu, dan membatasi siswa (susunan tempat duduknya cenderung mengisolasi siswa satu sama lain). Namun, yang lebih penting daripada kondisi fisik ini adalah kondisi emosional kelas yang tidak berwujud. Siswa akan belajar dengan baik jika mereka merasa aman, dihargai, dilibatkan, tertantang, dan didukung. Dengan demikian, lingkungan belajar yang dapat membuat siswa merasa bahwa mereka diterima dengan senang hati dengan penuh dukungan merupakan sebuah keharusan yang harus ada di kelas berdiferensiasi.

Diferensiasi yang efektif—dengan kata lain, perhatian berhasil diberikan pada kebutuhan belajar setiap siswa—harus memiliki lingkungan belajar di mana:
Kurikulum
Sebuah rencana terorganisir yang bertujuan untuk melibatkan siswa dengan ilmu pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan esensial.
Kumpulan standar-standar maupun buku pelajaran bukanlah apa yang dimaksud dengan kurikulum. 2 hal tersebut lebih tepatnya merupakan bahan atau sumber daya yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah kurikulum. Kurikulum yang berkualitas berdasar dari kepekaan guru terhadap mata pelajaran yang akan diwakili kurikulum. Ini mencakup pengetahuan dan keterampilan esensial yang harus dimiliki siswa setelah mempelajari segmen pelajaran tertentu (contohnya, selama 1 tahun, bab pelajaran tertentu). Ini juga mencakup mekanisme penilaian siswa secara sumatif untuk menentukan tingkat kemampuan siswa dengan hasil yang telah ditentukan dan sesuai dengan penilaian itu. Ini juga menyangkut urutan pembelajaran atau pengalaman pembelajaran yang dirancang untuk membuat siswa mempelajari konten, ilmu pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan esensial (Erickson, 2006; Tomlinson et al., 2009; Wiggins & McTighe, 2005).
Jenis diferensiasi yang digunakan di buku ini menganjurkan bahwa semua siswa (kecuali Program Pembelajaran Individualnya (IEP—Individualized Education Program) menunjukkan sebaliknya) harus:
Penilaian
Proses pengumpulan data dan analisis yang dapat menentukan sejauh mana capaian siswa dan memutuskan rencana pembelajaran yang tepat.
Ada 3 jenis penilaian: (1) penilaian diagnostik (prapenilaian) dirancang untuk menentukan status siswa terkait dengan hasil pembelajaran ketika mata pelajaran tertentu mulai diajarkan; (2) penilaian formatif (berkelanjutan) dirancang untuk memantau progres siswa ketika siswa memperoleh hasil yang signifikan saat mata pelajaran tertentu berlangsung; dan (3) penilaian sumatif dirancang untuk mengukur pencapaian siswa saat mata pelajaran tertentu mulai berakhir atau saat-saat penting dalam mata pelajaran tertentu atau setahun pembelajaran.
Penilaian yang berkualitas dapat membantu siswa memahami hasil pembelajaran esensial, status mereka terkait dengan hasil-hasil itu, dan cara mereka agar dapat bekerja secara efektif untuk memaksimalkan pertumbuhan mereka dan melampaui hasil tersebut (Earl, 2003). Jenis diferensiasi yang digunakan di buku ini menekankan pada penggunaan:
Proses ini membantu siswa mengekspresikan apa yang mereka tahu, pahami, dan dapat lakukan terkait pencapaian esensial mereka.
Pembelajaran
Proses mengajar, mendidik, dan menghadapkan siswa dengan konten.
Pembelajaran adalah apa yang muncul di benak banyak orang saat mendengar tentang proses pengajaran. Ini merupakan mekanisme yang digunakan untuk mempromosikan kurikulum atau lebih tepatnya mempertemukan konten dengan siswa. Guru di sini berperan sebagai jembatan—membantu siswa terhubung dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka pahami (atau sedang mereka pelajari)—untuk menuju pencapaian yang siswa perlukan untuk terus berkembang baik sebagai pelajar maupun manusia. Ini juga membantu menciptakan rencana yang tepat guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran diri, kemandirian siswa.

Jenis diferensiasi yang digunakan di buku ini menganjurkan bahwa pembelajaran akan:
Elemen-elemen kelas yang saling berkaitan satu sama lain
Sepertinya banyak dari kita yang memulai karir mengajar kita tanpa pemahaman yang jelas mengenai elemen-elemen utama kelas yang dijelaskan dalam bab ini. Sepertinya kita juga tidak menyadari bahwa setiap tindakan yang kita lakukan akan memengaruhi lalu meruak ke setiap sudut kelas. Seiring berjalannya waktu dan hingga kita sudah menjadi seorang ahli yang bijaksana di bidang kita masing-masing, kita secara bertahap menyadari bahwa suasana hati dan tenaga memengaruhi “suasana” yang berlangsung sepanjang hari di kelas dan juga siswa kita. Kelelahan kita menyelubungi siswa seperti kabut; kegembiraan kita adalah kegembiraan mereka juga. Ujian yang kita buat dapat menjadi tidak menyenangkan dan memengaruhi atmosfer kelas yang seharusnya tentram. Kemampuan kita menangani krisis yang dihadapi siswa secara damai membuat lingkungan belajar tampak aman bagi semua siswa secara keseluruhan.
Ketika kita terus berkembang sebagai seorang ahli di bidang kita masing-masing, kita akan lebih menyadari bagaimana cara elemen-elemen ini memengaruhi satu sama lain. Contohnya, kita tahu bahwa saat ada siswa yang merasa dia bukan bagian dari kelasnya, dia tidak akan berpartisipasi dalam diskusi kelas, tugas kelompok, atau bahkan tugas individu, dan lingkungan belajar yang tidak baik ini akan berdampak buruk pada kurikulum dan pembelajaran siswa tersebut. Demikian juga, jika siswa diberikan tugas di luar kemampuan mereka, mereka akan merasa tidak aman di kelas dan menganggap lingkungan belajarnya tidak nyaman.
Seiring berjalannya waktu dan dengan pengalaman yang kita miliki, kita mampu mengantisipasi situasi-situasi di atas dan menjadi lebih proaktif dan tanggap untuk menghindari situasi tersebut dengan strategi spesifik dan tepat. Contohnya, kita menyediakan diagram dan gambar untuk memandu dan memastikan siswa mengerti apa yang harus mereka lakukan sebelum mereka membaca dan memahami materi di teks mereka, bahkan siswa yang biasanya menolak membaca mandiri kemungkinan akan merasa bahwa mereka memahami apa yang mereka baca. Pembelajaran yang cermat akan memberikan impresi positif dengan kurikulum yang digunakan. Gambar 1.2 menunjukkan keterkaitan (berbentuk Möbius) antara kurikulum, penilaian, dan pembelajaran yang dikelilingi oleh aspek-aspek lingkungan belajar.
Konten bab ini mewakili apa yang guru di kelas berdiferensiasi harus ciptakan, pantau, dan galakkan guna mendukung pencapaian pembelajaran terbaik bagi semua siswa. Ini semua adalah bahan pengajaran. Bab 2 akan membahas alasan mengapa guru di kelas berdiferensiasi harus berpikir seperti yang disebutkan di atas dan akan fokus pada dasar-dasar filosofi diferensiasi.
(Bagus Priambodo/Sumber terjemahan: Chapter 1 – Leading and Managing A Differentiated Classroom – Understanding Differentiation in Order to Lead: Aiming for Fidelity to a Model by Carol Ann Tomlinson and Marcia B. Imbeau/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)