Tujuan moral utama guru adalah memenuhi kebutuhan setiap siswanya walaupun kenyataannya bertentangan dengan preferensi pribadi.
—Lorna Earle, Penilaian sebagai Pembelajaran
Hampir semua pakar pendidikan serempak menyuarakan dan menilai bahwa cara kita “bersekolah” saat ini kurang memadai, baik dalam hal pengetahuan kita saat ini mengenai proses belajar-mengajar maupun metode untuk mengatasi kebutuhan belajar populasi siswa yang kian beragam. Untuk mengaplikasikan cara belajar modern di dalam kelas, para ahli menganalogikan bahwa saat ini kita cenderung menggunakan Model-T Ford (otomobil yang dirpoduksi di abad ke-20) dibandingkan teknik otomotif yang ada di abad ke-21.
Lebih tepatnya, ruang kelas yang dianggap efektif di masa lalu sudah tidak cocok lagi bagi para siswa dan kebutuhan mereka saat ini. Siswa tidak hanya membentuk kelompok yang semakin beragam tetapi juga ada siswa yang menyukai sesuatu yang dipersonalisasi. Mereka terbiasa menonton acara TV hanya saat mereka ingin saja daripada saat jadwal penyiaran acara tersebut. Mereka tidak lagi harus membeli album untuk mendengarkan lagu tertentu karena sekarang mereka bisa mendengarkannya cukup dengan mengunduh lagu-lagu yang mereka inginkan saja. Mereka memilih komputer yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka memperoleh berita dan informasi sesuai preferensi mereka saat mereka membutuhkannya. Di sekolah, kita membimbing siswa tanpa mempertimbangkan kesiapan belajar, minat individu, dan pendekatan tertentu setiap siswa. Semakin sulit untuk menganggap batch processing (salah satu metode pengolahan data dengan cara menghimpun datanya terlebih dahulu lalu diatur pengelompokan datanya dalam kelompok-kelompok tententu yang disebut batch) dapat membantu populasi siswa yang sangat beragam menjadi pelajar yang diinginkan atau mempersiapkan mereka berjuang di dunia yang penuh kompleksitas, ketidakpastian, dan tantangan serta selalu menunutut mereka untuk mempersiapkan atau memberikan yang terbaik.
*Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Kelas Berdiferensiasi?, Memahami Diferensiasi untuk Memimpin Kelas Berdiferensiasi dan Filosofi sebagai Pedoman Guru yang Menerapkan Pembelajaran Bediferensiasi
Dengarkan Podcast MSG (Mikir Sing Genah) untuk Pendidikan di Anchor dan Spotify
Perhatikan 5 kutipan dokumen pendidikan utama di Amerika Serikat ini. Yang pertama berasal dari Standar Interstate New Teacher Assessment and Support Consortium (INTASC) dan mencerminkan kesepakatan bersama tentang apa saja yang perlu diketahui dan dilakukan para guru baru apa pun bidangnya. Yang kedua berasal dari National Board for Professional Teaching Standards—badan yang menyediakan sertifikasi yang diakui Dewan Nasional untuk guru-guru terbaik di Amerika Serikat. Kutipan ketiga hingga kelima berasal dari National Association for the Education of Young Children, National Middle School Association, dan National Association of Secondary School Principals. Kutipan-kutipan berisi sekumpulan ekspektasi untuk para guru—baik guru baru maupun ahli dan guru prasekolah hingga SMA—serta amanatnya jelas dan konsisten: guru harus menghargai dan memahami perbedaan setiap siswa, serta guru dituntut untuk mengatasi perbedaan itu secara bijaksana dan proaktif.
Ekspektasi untuk guru baru
Guru harus:
Beberapa kriteria untuk menjadi guru bersertifikasi yang diakui oleh Badan Nasional Guru Bersertifikasi (NBCT–pendidik yang memenuhi standar tinggi dan ketat yang ditetapkan oleh NBPTS atau di Indonesia sama dengan BSNP)
Ekspektasi untuk guru anak usia dini
Di 3 negara bagian Amerika Serikat, orang Eropa-Amerika tidak lagi menjadi kelompok mayoritas. Bayi yang lahir saat ini akan tumbuh di negara tanpa kelompok etnis yang mendominasi. Pada tahun 2005, anak-anak dan remaja non-kaukasoid (ras kaukasoid atau orang kulit putih) akan mendominasi 40% dari semua sekolah yang ada di Amerika Serikat. Populasi terbesar orang penyandang disabilitas terdapat di prasekolah. Oleh karena itu, guru anak usia dini harus lebih siap dan tanggap untuk melayani dan menghargai kelompok anak atau keluarga yang kian beragam ke depannya. (National Association for the Education of Young Children, 2001)
Beberapa gambaran tentang kualitas guru SMP
Beberapa pedoman untuk guru SMA
Tidak mungkin ada 2 siswa yang sama persis atau siswa yang akan tetap sama persis selama masa sekolah mereka dari prasekolah hingga SMA. Namun, batch processing (salah satu metode pengolahan data dengan cara menghimpun datanya terlebih dahulu lalu diatur pengelompokan datanya dalam kelompok-kelompok tententu yang disebut batch) tidak efisien, setidaknya untuk kebanyakan remaja. Personalisasi adalah suatu keharusan. . . . Walaupun seluruh siswa kami berbeda satu sama lain, kami tetap melayani mereka dengan baik dengan cara menerapkan misi utama kami dan kemudian menerapkannya dalam proses belajar-mengajar yang mencakup kelebihan dan kekurangan, gaya belajar, dan kebutuhan khusus setiap siswa. Misi tersebut harus spesifik dan jelas; perbedaan cenderung berasal dari minat, kemampuan, dan kekurangan siswa secara individu karena ini akan bertambah atau berkurang seiring waktu. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mengenali dan memahami siswanya dengan baik. “Anonimitas” siswa merupakan kritik yang sering dibahas di sekolah Amerika Serikat, dan harus berakhir di sini bagaimanapun caranya. (National Association of Secondary School Principals, 2004)
Suara-suara para pakar pendidikan yang mewakilkan para pendidik lainnya menegaskan bahwa perbedaan siswa akan selalu dihargai dan proses pengajaran yang berkualitas dapat mengatasi perbedaan ini. Namun terlepas dari banyaknya permintaan secara terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan pelajar secara individual, dan terlepas dari fakta bahwa proses pengajaran “1 untuk semua” tidak efisien untuk kebanyakan siswa, sangat sulit bagi kita untuk lepas dari konsepsi kuno ini dan mulai menerapkan proses belajar-mengajar yang lebih modern dan efektif. Ada banyak alasan mengapa proses pengajaran yang dipersonalisasi ini sulit (dan membingungkan).
Konsepsi ini lambat laun telah menjadi kebiasaan kita karena kita terus-menerus dicekoki dengan konsepsi ini selama masa muda kita. Kita semua percaya diri bahwa kita mengerti cara “bersekolah” yang benar. Bahkan anak-anak kecil yang kerap bermain sekolah-sekolahan di rumah paham bahwa: guru bertugas untuk mengajar sedangkan siswa duduk dan memerhatikan guru yang sedang mengajar. Siswa mempelajari apa yang diperintahkan kepada mereka dan menunjukkannya kepada guru. Guru mengajari siswa secara menyeluruh dan siswa yang tidak patuh harus “keluar dari kelas”.
Selain gambaran ini terdengar seperti situasi ruang kelas yang sebenarnya, ini juga mewakili sekumpulan kepercayaan mengenai proses belajar-mengajar yang dikenal masyarakat. Baik guru, orang tua, maupun siswa meyakini bahwa gambaran ini menentukan cara “bersekolah” yang benar; sulit membayangkan melalukan proses belajar-mengajar di kelas dengan cara lain. Namun demikian, jika kita sudah bertekad mengajari siswa-siswa kita agar siap menghadapi dunia luar yang kenyataannya berbeda dengan apa yang diajarkan sekolah saat ini, perubahan fokus pelajar bukan lagi sebuah pilihan namun suatu keharusan.
Wali kelas dan perannya sebagai ‘Pelopor Perubahan’
Mendukung perubahan pembelajaran berdiferensiasi adalah tanggung jawab semua pendidik. Pengawas, kepala sekolah, koordinator kurikulum, spesialis, koordinator kelas, ketua departmen, direktur media, dan konselor merupakan beberapa pendidik yang berperan penting dalam mengelola ulang ruang kelas sehingga ruang kelas dapat mengakomodasi siswa dengan proses belajar-mengajar yang lebih efektif. Tanngung jawab ini akan jauh lebih mudah jika semuanya bergotong royong untuk menggapai tujuan ini bersama-sama, dan dilarang melepaskan tanggung jawabnya demi menciptakan sekolah terbaik untuk para siswa. Meskipun demikian, peran wali kelas dalam memelopori perubahan tersebut penting. Tidak ada satu pun yang jauh lebih penting dari peran wali kelas. Jika pendidik lain gagal memikul tanggung jawab mengamalkan perubahan berdiferensiasi ini, wali kelas masih bisa membalikkan keadaan untuk mengemban tanggung jawab itu.
Wali kelas secara tidak langsung memiliki “kesepakatan” dengan siswa untuk memanfaatkan waktu mereka di kelas secara produktif. Wali kelas berkesempatan memahami siswa secara mendalam sebagai pribadi tanpa adanya hal-hal yang disembunyikan. Wali kelas juga akan mengidentifikasi hubungan antara siswa dengan konten kritis. Wali kelas juga yang akan memanfaatkan motivasi tersembunyi, memulihkan rasa kepercayaan yang rusak, dan memberitahu setiap siswa bahwa manusia tidak lepas dari proses pembelajaran. Sederhananya, wali kelas memiliki peran yang tak tergantikan dalam mengatasi perbedaan di kelas berdiferensiasi.
Buku ini akan menyoroti 4 audiens berbeda di mana kepemimpinan guru dianggap penting dalam mengamalkan pembelajaran berdiferensiasi ini secara tepat. Pertama, guru harus memotivasi diri mereka sendiri untuk merancang dan menerapkan pembelajaran yang fokus dan perhatian utamanya ada pada siswa secara konsisten. Kedua, guru harus memotivasi, memimpin, dan mengarahkan siswa agar dapat memahami, berkontribusi, dan berpartisipasi dalam kelas yang dirancang untuk memenuhi kebutuhkan individu dan kelompok. Ketiga, guru harus memberikan pemahaman kepada orang tua mengenai tujuan dari ruang kelas berdiferensiasi ini, apa manfaat ruang kelas ini bagi anak mereka, dan bagaimana cara mereka mendorong keberhasilan anak mereka di dalam kelas ini. Terakhir, guru dapat menjadi contoh teladan bagi guru lainnya dan administrator sekolah dalam memahami dan memberikan kontribusi besar pada pembelajaran berdiferensiasi secara akademis.
Guru yang sukses mengamalkan pembelajaran berdiferensiasi ini adalah pemimpin sejati. Selama itu, kami mengelola rincian-rincian yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang kami yakini dapat bermanfaat bagi semua. Kepemimpinan sejati layak disebut pedoman–pedoman yang dapat diandalkan para pengikutnya. Untuk mencapai tingkat kepemimpinan yang seperti itu, kita harus:
Peran kepemimpinan guru terhadap kelas berdiferensiasi
3 bab di Bagian I buku ini dirancang untuk membantu guru menjadi lebih percaya diri dan menjadi pemimpin efektif untuk kelas berdiferensiasi. Kami tidak menganggap bahwa bab-bab tersebut berisi semua hal yang perlu diketahui tentang topik yang sedang dibahas. Kami sadar bahwa setiap bab memberikan gambaran umum tentang masalah yang jauh lebih kompleks. Kami juga tahu bahwa orang-orang yang menyalurkan tenaganya untuk meningkatkan pendekatan ini akan terus berupaya meningkatkan pendekatan tersebut. Tujuan kami sebenarnya bukan untuk menentukan metode kepemimpinan yang harus digunakan guru dalam kelas diferensiasi melainkan menyediakan kerangka kerja untuk permulaan yang seharusnya (kerangka kerja yang tepat untuk penerapan kelas berdiferensiasi agar lancar dalam implementasinya).
Berdasarkan pengalaman kami, guru yang andal mengatasi perbedaan siswanya memiliki basis pengetahuan yang kuat dan berkembang serta memiliki gambaran kelas seperti apa yang akan tercipta jika mampu memaksimalkan kapasitas setiap siswanya. Guru-guru ini kemudian mendorong siswa untuk membantu mereka mewujudkan kelas tersebut dan memerhatikan keberlangsungan kelas ini seiring dengan berjalannya tahun ajaran. Bagi para guru-guru ini, perbedaan bukanlah sekumpulan rencana melainkan cara menjalankan tugas mereka secara demografis, secara etis, terinformasi secara pedagogis, dan teruji secara empiris.
Pemimpin efektif memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bidang keahlian mereka dan akan terus-menerus mengasah kemampuan mereka di bidang keahlian mereka tersebut. Bab 1 mengulas tentang unsur-unsur pembelajaran berdiferensiasi bagi guru yang berminat mengatasi perbedaan individu di dalam kelasnya. Pemimpin efektif bekerja berdasarkan filosofi yang menjelaskan visi yang diandalkannya kepada orang lain. Bab 2 menjelaskan filosofi yang mendasari perbedaan yang sedang dibahas ini sehingga guru yang ingin mengatasi perbedaan individu di kelasnya dapat berlandaskan pada pandangan mereka sendiri dalam proses mengajarnya. Pemimpin akan melibatkan pengikutnya untuk memahami dan berkontribusi pada misi bersama. Bab 3 menyajikan strategi-strategi yang dapat digunakan untuk memberi pemahaman kepada siswa, orang tua, dan pendidik lainnya mengenai perbedaan individu sehingga guru pemimpin dapat mengajak mereka berpartisipasi dalam menghasilkan proses yang bermanfaat bagi semua peserta didik. Bab-bab di paruh kedua buku ini berfokus pada pengelolaan kelas berdiferensiasi.
(Bagus Priambodo/Sumber terjemahan: Part 1 – Leading and Managing A Differentiated Classroom – Leading A Differentiated Classroom by Carol Ann Tomlinson and Marcia B. Imbeau/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)