Mengembalikan Kreativitas Anak lewat Permainan Bebas

Kamis, 04/09/2025 WIB   27
9

Para guru di Hubbard Elementary School memberi contoh bagaimana sekolah dapat bergerak dinamis dalam memahami kebutuhan siswa. Mereka tidak terpaku pada buku atau jadwal, tetapi terus menyesuaikan cara mengajar sesuai dengan situasi nyata yang dihadapi anak-anak. Pendekatan ini lahir dari kesadaran bahwa tantangan pendidikan hari ini tidak lagi sama dengan sebelumnya. Algoritme teknologi yang adiktif telah memengaruhi cara anak-anak beraktivitas, mengurangi waktu bergerak, sekaligus mempersempit rentang perhatian mereka.

Para guru melihat bahwa anak-anak sekarang hidup dengan kegiatan yang serba terstruktur, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Akibatnya, mereka kehilangan ruang untuk berimajinasi dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Rasa bosan yang sebenarnya bisa menjadi pintu lahirnya kreativitas, justru jarang mereka alami. Situasi ini mendorong sekolah untuk mencari jalan keluar yang sederhana namun berdampak.

Hubbard memilih langkah berbeda dengan mengadakan Global School Play Day. Acara ini dirancang untuk memutus pengaruh layar digital yang mengikat anak-anak dan sekaligus memperkenalkan kembali permainan bebas sebagai sumber kreativitas. Play Day bukan sekadar hiburan, melainkan upaya pendidikan yang memberi ruang bagi siswa untuk menciptakan pengalaman mereka sendiri tanpa arahan berlebihan dari guru, orang tua, atau pelatih.

Tradisi ini berawal pada 2015 sebagai respon dari kekhawatiran para pendidik terhadap hilangnya permainan bebas. Hubbard melanjutkan semangat itu dengan menggelar acara serupa pada 5 Februari sebagai bagian dari 4 rangkaian kegiatan. Para guru ingin menunjukkan bahwa sekolah dapat menjadi tempat yang bukan hanya menyalurkan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kemandirian dalam berpikir dan berkreasi.

Guru pendidikan jasmani, Brandi Muise, menegaskan bahwa anak-anak perlu waktu untuk bosan, karena dari situlah muncul ide baru. Dengan bermain bebas, siswa terbiasa memecahkan masalah sendiri dan menemukan cara berinteraksi yang lebih alami. Ia mengingatkan bahwa jika ruang seperti ini diabaikan, anak-anak akan kehilangan keterampilan dasar yang justru mendukung keberhasilan akademik sekaligus membangun rasa percaya diri.

Pada praktiknya, sekolah mengatur setiap ruang kelas dengan tema permainan yang berbeda. Ada yang fokus pada seni, membangun benteng dari selimut, bermain Lego, membuat perhiasan, hingga menari. Siswa bebas memilih kegiatan dan berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Guru hanya memantau dari jauh, memastikan anak-anak merasa aman, sementara siswanya benar-benar diberi kendali untuk menentukan pengalaman mereka sendiri.

Suasana itu memperlihatkan bagaimana siswa belajar dengan cara yang alami. Seorang siswa kelas 5, Sylas Dormer, menyebut kegemarannya bermain basket di gym dan bercerita tentang kreasinya membuat mini stick dari penggaris patah serta kardus. Kreativitas sederhana ini lahir bukan dari arahan, melainkan dari kebebasan menemukan ide dalam situasi bermain.

Manfaat permainan bebas tidak berhenti pada kreativitas. Muise menjelaskan bahwa kegiatan fisik dalam permainan ini membantu perkembangan otot anak, yang justru penting bagi keterampilan menulis. Ia menekankan bahwa permainan seperti ini juga memperkuat perkembangan sosial, emosional, dan kognitif yang menjadi fondasi keberhasilan belajar.

Cerita serupa datang dari Lexi Antoshin, siswa kelas 5 lain yang mengaku hanya ingin bersenang-senang. Ia menikmati waktu di gym bermain gaga ball dan voli, lalu berpindah ke ruang musik untuk membuat lagu bersama teman-temannya. Tanpa disadari, ia sedang membangun keterampilan sosial dan emosional yang tak bisa diperoleh dari layar digital.

Wakil Kepala Sekolah Cindy Miller menambahkan harapannya bahwa anak-anak dapat memahami, kesenangan tidak harus datang dari teknologi. Mereka bisa merasakan kepuasan dengan membangun, menggambar, atau membuat puzzle. Pesan sederhana ini menegaskan bahwa kebahagiaan anak-anak tetap bisa tumbuh tanpa ketergantungan pada gawai.

Praktik di Hubbard menunjukkan bahwa sekolah bisa mengambil langkah berani dengan mengembalikan permainan bebas ke ruang belajar. Di tengah arus digital yang kian mengikat, sekolah ini memberi contoh bahwa ruang kreativitas tidak boleh hilang. Justru di sanalah letak kekuatan pendidikan, yakni menyiapkan anak-anak bukan hanya untuk berprestasi secara akademis, tetapi juga untuk menjadi manusia yang mampu berpikir, berkreasi, dan menemukan dirinya di dunia yang terus berubah.

(Sumber catatan: ASDW/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)