Menyalurkan Energi Anak sebagai Kekuatan Belajar lewat Belajar di Luar Kelas

Rabu, 03/09/2025 WIB   133
3

Kelas luar ruangan yang tumbuh di berbagai sekolah distrik di Kanada menjadi bukti nyata bahwa pendidikan bisa berjalan lebih dekat dengan kehidupan anak. Slogan sederhana “bawa saja ke luar” tidak lagi sekadar seruan orang tua yang kewalahan menghadapi energi anak, melainkan terwujud sebagai gagasan pedagogis yang berakar pada kenyataan bahwa anak-anak penuh energi, sulit diam, dan membutuhkan ruang untuk bergerak. Alih-alih mengekang, para guru memilih jalan berbeda dengan mengupayakan energi itu menjadi kekuatan belajar.

Sejak 2014, sekolah-sekolah di distrik teraebut mulai membangun kelas luar ruangan sebagai sarana belajar yang memanfaatkan alam sekitar. Sampai saat ini, 39 dari 70 sekolah telah memiliki ruang belajar alternatif tersebut. Wujudnya sederhana, bahkan cenderung apa adanya seperti bangku dari batang pohon mati, papan tulis yang ditopang kayu, hingga tempat berlindung sederhana. Justru kesederhanaan itu yang menunjukkan esensi utama, bahwa pendidikan tidak selalu bergantung pada fasilitas mahal, melainkan pada pemanfaatan sumber daya yang tersedia dan keberanian untuk mengubah cara mengajar.

Saint Mary’s Academy di Edmundston menjadi contoh sekolah yang menghidupkan semangat ini. Guru, siswa, dan staf sekolah bergotong royong membangun ruang belajar luar ruangan dengan memanfaatkan batang pohon mati dan kayu sumbangan. Proses ini bukan hanya membangun fisik, melainkan juga membangun rasa kepemilikan bersama terhadap pendidikan. Seorang guru, Vanessa Després, mengaku ingin semua kegiatan belajar berlangsung di luar. Ia bahkan menempuh kursus khusus untuk memperkuat keterampilan mengajar berbasis alam. Dedikasi semacam ini menunjukkan bahwa guru bukan sekadar pengajar, melainkan juga pembelajar yang terus mencari cara agar anak-anak bisa belajar dengan lebih bermakna.

Apa yang dilakukan Després memperlihatkan transformasi nyata dalam praktik mengajar. Ia tidak berhenti pada gagasan, melainkan menerjemahkannya dalam kegiatan konkret. Anak-anak diajak menghitung jumlah pohon, mencatat warna jamur, dan mengubahnya menjadi data pecahan. Dari aktivitas sederhana, lahirlah konsep matematika yang dipahami secara nyata. Belajar tidak lagi terbatas pada simbol di kertas, tetapi hadir melalui pengalaman langsung.

Hal serupa juga terjadi di Meduxnekeag Consolidated School. Guru membawa siswa keluar setiap hari, bahkan di musim dingin. Anak-anak belajar mengenal burung, memetik sayur hutan, membangun tempat berlindung, dan memahami budaya masyarakat adat. Pembelajaran lintas mata pelajaran hadir secara alami, tidak dipaksakan, dan terikat dengan konteks kehidupan nyata. Yang lebih penting, sekolah menyiapkan panduan dan rencana pelajaran agar praktik ini bisa berlanjut dan tidak bergantung pada 1 guru saja. Keberlanjutan inilah yang memberi makna, karena praktik baik akan bertahan bila menjadi budaya sekolah.

Menariknya, sekolah yang belum memiliki kelas luar ruangan pun tidak ketinggalan. Kepala sekolah di daerah pedesaan mendorong guru membawa anak-anak belajar di lapangan, jalur hutan, atau tepi sungai. Beberapa sekolah bahkan hanya memiliki gazebo atau area piknik sederhana, tetapi tetap konsisten menjadikannya ruang belajar. Hal ini menegaskan satu hal, yaitu keterbatasan bukan penghalang, selama ada kemauan. Justru dalam keterbatasan itulah lahir inovasi, karena guru belajar memanfaatkan apa yang tersedia.

Pengalaman ini memperlihatkan bahwa pendidikan luar ruangan bukan proyek seragam yang harus diwajibkan dari atas, melainkan inisiatif yang lahir dari kesadaran sekolah. Distrik memang tidak memiliki rencana besar untuk membangun kelas luar di semua sekolah, tetapi masing-masing sekolah bergerak sendiri. Mereka membangun sesuai kebutuhan, sesuai kemampuan, dan sesuai lingkungan yang dimiliki. Dari sini kita belajar bahwa perubahan pendidikan sering kali tumbuh dari akar rumput, bukan menunggu arahan besar dari pusat.

Lebih jauh, suara siswa memperkuat betapa pentingnya ruang belajar alternatif ini. Anak-anak merasa lebih tenang, lebih bebas bergerak, lebih senang, bahkan lebih bangga saat berhasil menyelesaikan sesuatu di luar ruangan. Mereka merasakan udara segar, menemukan hal baru, dan belajar tanpa merasa terjebak dalam kebosanan. Testimoni ini sederhana, tetapi kuat. Pendidikan yang bermakna pada akhirnya diukur bukan dari catatan administrasi guru, melainkan dari pengalaman belajar yang dikenang siswa.

Kelas luar ruangan di distrik ini memberi kita pelajaran penting. Pertama, bahwa energi anak-anak bukan untuk dibatasi, melainkan diarahkan. Kedua, bahwa alam adalah sumber belajar yang tak terbatas, asalkan guru mau membuka diri. Ketiga, bahwa inovasi pendidikan tidak selalu membutuhkan biaya besar, cukup keberanian untuk mencoba dan komitmen untuk terus menghidupkannya. Dan yang terakhir, bahwa pendidikan akan selalu menemukan jalannya ketika guru, siswa, dan komunitas bergerak bersama.

Jika sekolah-sekolah di distrik ini bisa melakukannya dengan sederhana, maka pertanyaan bagi kita adalah sudahkah kita memberi ruang yang cukup bagi anak-anak untuk belajar dengan cara yang lebih alami?

(Sumber catatan: ASDW/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari ASDW)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)