Saat itu, hampir semua dari 76 juta anak usia sekolah di Amerika Serikat masih belum bisa kembali ke sekolah, dan kemungkinan mereka kembali sepenuhnya semakin tipis setiap harinya.
Ada anggapan umum bahwa Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang paling terdampak COVID-19, menahan anak-anaknya untuk kembali ke sekolah meskipun negara lain sudah membuka sekolah mereka.
Namun kenyataannya, hampir satu miliar siswa di 143 negara di seluruh dunia juga tidak akan kembali ke sekolah pada musim gugur saat itu.
Karena COVID-19 tampaknya akan tetap ada, dan tekanan untuk membuka kembali sekolah semakin besar, saat itu ada dorongan untuk membawa pembelajaran ke luar ruangan. Ini dilakukan untuk memaksimalkan jumlah siswa yang bisa berada di sekolah pada waktu yang sama.
Jarak sosial lebih mudah diterapkan di luar ruangan, di mana ruang bukan masalah besar seperti di dalam kelas. Pembelajaran luar ruangan, yang sebelumnya hanya dianggap sebagai hal baru, kemungkinan besar akan segera menjadi hal yang umum dilakukan.
Ada banyak alasan di balik dorongan untuk membuka kembali sekolah dan membawa lebih banyak anak kembali ke sekolah. Namun, semua ini harus diimbangi dengan risiko penyebaran virus ketika jutaan siswa kembali ke kelas.
Sebagai contoh, Kota New York saat itu memutuskan bahwa sekolah tidak akan dibuka kembali jika tingkat infeksi COVID-19 melebihi 3%. Jika parameter keselamatan untuk penyebaran virus ini terpenuhi, maka sekolah yang dibuka tetap hanya akan menerima sebagian siswa.
Sebagian besar sekolah pada saat itu tidak akan bisa mengajak semua siswa kembali pada hari pertama pembukaan, karena perlunya menjaga jarak sosial di dalam kelas dan area umum yang digunakan siswa.
Oleh karena itu, sangat wajar untuk bertanya bagaimana masalah keterbatasan ruang bisa diatasi dengan memanfaatkan area luar ruangan untuk pembelajaran.
(Sumber: Education Design)