Para Murid di Kota Riihimaki Finlandia Beralih, Belajar dari Layar Digital ke Kertas

Senin, 26/05/2025 WIB   743
YZBB7MY4PJPOJIBYRVCP5NXIFM

Meskipun kita hidup di era kecerdasan buatan (AI) yang serba digital, namun belajar dengan buku fisik dan pena masih memiliki nilai yang tak ternilai, karena dapat meningkatkan konsentrasi, kreativitas, dan pemahaman yang lebih baik.

Dan ini benar-benar terjadi.

Musim gugur tahun lalu (September 2024), murid-murid di kota Riihimaki, Finlandia, kembali ke sekolah dengan ransel penuh buku setelah 1 dekade gencar menggunakan laptop dan perangkat digital lainnya di ruang kelas dengan dukungan pemerintah (negara).

Sistem pendidikan publik Finlandia telah memperoleh pengakuan global atas hasil-hasilnya yang baik dalam beberapa dekade terakhir dan kesiapannya untuk mencoba teknik-teknik pengajaran baru. Hingga kemudian banyak sekolah memberikan laptop secara gratis ke semua murid mulai dari usia 11 tahun.

Tetapi orang tua dan guru Finlandia, seperti di tempat lain, semakin khawatir akan dampak layar pada anak-anak. Jadi Riihimaki, sebuah kota berpenduduk sekitar 30.000 jiwa 70 km (44 mil) di Utara Helsinki yang sejak 2018 telah berhenti menggunakan sebagian besar buku di sekolah menengah, mencoba sesuatu yang berbeda dengan memulai tahun ajaran kala itu kembali ke pena dan kertas.

Menurut Maija Kaunonen, guru bahasa Inggris di sekolah menengah Pohjolanrinne, saat ini banyak sekali anak-anak muda yang menggunakan ponsel dan perangkat digital. Sehingga pihaknya tidak ingin sekolah tempatnya mengajar menjadi salah satu tempat anak-anak menghabiskan waktunya dengan menatap layar.

Penggunaan perangkat digital yang berlebihan diakuinya dapat menyebabkan anak-anak menjadi tidak fokus dan terganggu (mudah gelisah), sehingga mereka lebih tertarik untuk bermain game dan bersosialisasi di media sosial daripada menyelesaikan tugas (para murid suka cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar bisa kembali bermain game dan chatting di media sosial).

Contohnya, para murid bisa dengan mudah menyembunyikan aktivitasnya di browser yang ada di perangkat digitalnya dan berpura-pura mengerjakan tugas ketika guru datang.

Alhasil, di seluruh Finlandia, hasil belajar anak-anak perlahan menurun dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu mendorong pemerintah merencanakan undang-undang baru untuk melarang penggunaan perangkat pribadi, seperti telepon, selama jam sekolah guna mengurangi waktu anak-anak di depan layar.

Para murid jadi lebih konsentrasi dari sebelumnya

Salah satu murid Kaunonen, Elle Sokka, 14 tahun, mengatakan dia tidak selalu fokus pada mata pelajaran sekolah saat belajar secara digital. Kadang-kadang dirinya beralih ke situs web lain di luar pelajaran.

Keadaan berubah sejak mereka kembali belajar menggunakan buku dan pena.

Murid kelas 8 Miko Mantila dan Inka Warro, keduanya berusia 14 tahun, mengatakan konsentrasi mereka meningkat sejak buku kembali tersedia.

Bagi mereka membaca jauh lebih mudah. Bahkan bagi Mantila, dapat membaca lebih cepat dari buku meski dalam hal menulis tetap lebih mudah dilakukan melalui perangkat digital.

Untuk urusan tidur malam, Warro berpendapat, bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sampai larut malam, akan menjadi lebih mudah untuk tidur jika dirinya tidak hanya (tidak melulu) menatap perangkat digitalnya.

Minna Peltopuro, seorang ahli saraf klinis yang bekerja di Riihimaki untuk perubahan tersebut, mengatakan, total waktu yang dihabiskan di depan layar harus dikurangi hingga minimum – remaja Finlandia saat ini menatap layar hingga 6 jam per hari rata-rata – karena penggunaan digital yang berlebihan menimbulkan risiko fisik dan mental, seperti masalah mata dan meningkatnya kecemasan.

Terlebih saat mereka harus mengerjakan beberapa tugas di waktu yang bersamaan. Disampaikan Peltopuro, hal tersebut sangat rentan ke otak mereka. Seseorang yang dibebani banyak pekerjaan di usia muda cenderung tidak dapat mengelolanya dengan baik.

Apa yang dilakukan entitas pendidikan di kota Riihimaki, telah dilakukan juga oleh negara Skandinavia lainnya. Salah satunya Swedia.

Penghentian pemakaian alat eletronik dan digital dalam proses pembelajaran di Swedia dilakukan setelah Kementerian Pendidikan Swedia mengadakan penilaian kemampuan membaca para siswa melalui program Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS).

Hasil penilaian tersebut membuktikan, anak kelas 4 berusia 10-12 di Swedia memiliki kemampuan membaca yang menurun pada 2021. Mereka hanya memperoleh ata-rata 544 poin di tahun tersebut. Turun dari rata-rata 555 poin pada 2016.

Para pakar pendidikan negara tersebut meyakini hal ini terjadi akibat penggunaan layar secara berlebihan selama pelajaran di sekolah. Durasi penggunaan layar peralatan elektronik dapat menyebabkan anak-anak tertinggal dalam mata pelajaran utama.

Dampak lain dari penggunaan gadget adalah murid dinilai mengalami kesulitan dalam mengenali informasi yang akurat dan terverifikasi.

Kajian Institut Karolinska menjelaskan, terjun langsung ke dunia digital untuk mencari informasi menjadikan seseorang sulit memastikan keakuratan konten yang diakses.

Menurut mereka, mendidik anak-anak mengenal informasi akurat tetap harus dari buku ataupun teks-teks cetak lainnya. Hal itu membuat murid belajar mengenai pentingnya mengenal informasi yang sudah diverifikasi dan dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Simak juga videonya berikut:

(Sumber: Reuters dan Kompas.com/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Reuters)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)