Pembelajaran Bermakna yang Mengubah Hidup Siswa Adat di Timmins, Ontario

Senin, 30/06/2025 WIB   416
Indigenous-education

Dari Buku Deep Learning: Engage the World Change the World

Pembelajaran mendalam (deep learing) berbasis (yang menumbuhkan atau mendorong berkembangnya) 6C (berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, komunikasi, kewarganegaraan/global, dan karakter) bukan sekadar teori, tetapi sudah benar-benar dilakukan sejak lama oleh guru di berbagai negara

Hal tersebut mungkin terasa membingungkan bagi sebagian besar dari kita. Jadi, yuk kita lihat langsung ke beberapa ruang kelas di berbagai negara untuk memahami apa yang membuat cara belajar ini berbeda, dan bagaimana cara ini bisa membantu mengembangkan 6C.

Maksudnya hal tersebut mungkin terasa membingungkan: Banyak orang mungkin belum benar-benar memahami apa itu pembelajaran mendalam dengan kemampuan baru (yang menumbuhkan atau mendorong berkembangnya 6C) dan bagaimana cara kerjanya, sehingga terasa sulit dipahami di awal (karena pendekatannya berbeda dari cara belajar tradisional atau dari cara belajar biasanya).

Sam, seorang siswa sekolah menengah atas dari Ontario, Kanada

Di bab-bab sebelumnya (sebelum bab/chapter 4 di buku Deep Learning Engage the World), ada sebuah gagasan tentang keadilan dalam pendidikan, yaitu semua siswa membutuhkan pembelajaran yang mendalam, tetapi siswa yang selama ini kurang mendapatkan perhatian di sistem pendidikan tradisional (konvensional) justru mungkin lebih membutuhkannya. Di sini, mereka menyajikan 2 contoh dari banyak contoh yang sebenarnya bisa mereka pilih. Contoh pertama menunjukkan bahwa ketika siswa belajar secara mendalam di bidang yang relevan dengan kehidupan mereka sendiri, mereka tidak hanya mengalami peningkatan dalam hal akademis, tetapi juga menemukan jati diri dan keberanian untuk bersuara.

Siswa Adat  (First Nation) Mulai Berani Menyuarakan Pendapatnya

Bagi siswa yang hidup dalam kemiskinan, pembelajaran yang bermakna bisa menjadi pengalaman yang mengubah jalan hidup mereka. Lewat proses belajar seperti ini, mereka mulai menyadari bahwa mereka bisa mengendalikan hidupnya sendiri dan juga bisa membuat hidup orang lain jadi lebih baik. Inilah yang dialami oleh seorang siswa suku adat (First Nation) di Kanada.

Namanya Sam. Ia siswa SMA yang tinggal di Timmins, Ontario. Waktu itu, Sam sedang mengalami masa-masa sulit. Ia harus meninggalkan kampung halamannya, budaya adatnya, dan nenek yang selama ini merawatnya, demi bisa melanjutkan sekolah.

Ia pergi jauh, ratusan kilometer dari rumah, ke kota tempat banyak orang punya anggapan negatif tentang anak-anak muda dari komunitas adat seperti dirinya. Ia tinggal di rumah orang lain yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Dari situ, Sam mulai mengerti kenapa banyak anak-anak di kampungnya menyerah dan memilih berhenti sekolah.

Suatu hari, seorang guru di sekolahnya mengajak seluruh siswa ikut program bernama Students as Researchers, yang diselenggarakan oleh pemerintah Ontario. Sam sebenarnya tertinggal secara akademis dibanding teman-temannya. Tapi ia tetap ingin ikut karena di program ini siswa bisa bekerja dalam kelompok, memilih sendiri topik yang ingin diteliti, dan mencari solusi atas masalah nyata yang mereka rasakan (anggap) penting.

Sam lalu mengajak beberapa teman dari komunitas adatnya untuk bergabung. Tak butuh waktu lama, mereka membentuk satu tim. Topik yang mereka pilih: Bagaimana pengalaman anak-anak adat saat pindah ke sekolah menengah atas?

Mereka mulai menyusun kuesioner dan pertanyaan wawancara. Lalu mereka mengumpulkan informasi dan cerita dari berbagai pihak, dari siswa adat yang berhasil bertahan dan lulus, dari yang putus sekolah, dari para tetua di komunitas adat, dari guru dan siswa di sekolah, sampai dari keluarga kota yang biasanya menampung anak-anak adat.

Setelah selesai, mereka menuliskan hasilnya dalam sebuah laporan. Isinya penuh tantangan (berisi daftar panjang tentang tantangan yang dihadapi siswa adat saat bersekolah di kota): rasa kesepian, perlakuan tidak adil, perasaan gagal, dan tidak punya harapan.

Tapi mereka tidak tinggal diam. Sam dan teman-temannya ingin laporan itu jadi bahan perubahan nyata (mereka ingin laporan itu digunakan untuk mendorong perubahan). Mereka berkomitmen untuk membuat hidup siswa adat jadi lebih baik. Dengan dukungan sekolah dan para tetua adat, mereka mendirikan Aboriginal Youth Advisory Committee, semacam organisasi siswa adat di sekolah.

Organisasi ini menjadi tempat anak-anak adat menyampaikan suara dan ide mereka. Mereka mulai melakukan banyak perubahan seperti menghadirkan mentor dari kalangan adat, mengadakan program belajar bersama, membuat acara untuk merayakan budaya dan sejarah adat yang bisa diikuti semua siswa, dan memperbaiki cara sekolah bekerja sama dengan keluarga penampung siswa adat di kota. Yang awalnya hanya proyek di satu pelajaran, lama-lama berubah menjadi program besar untuk mendukung transisi siswa adat di sekolah, dan ikut mengubah cara pandang seluruh sekolah terhadap komunitas adat.

Sam pun ikut berubah. Dulu ia pemalu dan kesulitan membaca. Bahkan, konselor sekolah menyarankan agar ia mengambil jalur pelajaran praktis. Tapi sekarang, Sam jadi percaya diri. Ia mulai suka membaca dan melakukan penelitian. Ia juga bekerja sebagai pembimbing remaja di Native Friendship Centre. Sekarang, Sam punya mimpi besar, ia ingin kuliah dan jadi seorang guru.
(Fullan & Gallagher, 2017)

Catatan Kami

Transformasi Siswa Adat lewat Pembelajaran Bermakna

Cerita Sam adalah bukti nyata bagaimana pembelajaran yang bermakna dapat mengubah arah hidup seorang siswa, khususnya bagi mereka yang berasal dari latar belakang sulit. Dalam kondisi penuh tantangan, Sam harus meninggalkan kampung halaman dan segala kenyamanan yang selama ini mendukungnya. Ia berhadapan dengan lingkungan baru yang penuh prasangka dan ekspektasi rendah terhadap siswa dari komunitas adat.

Namun, yang membedakan pengalaman Sam adalah keterlibatannya dalam program Students as Researchers. Program ini memberikan ruang bagi siswa untuk aktif memilih topik yang mereka anggap penting dan melakukan penelitian bersama teman-teman sebayanya.

Melalui proses ini, Sam dan kelompoknya mampu mengangkat pengalaman nyata siswa adat yang menghadapi kesulitan dalam transisi ke sekolah menengah atas. Mereka tidak hanya mengumpulkan data, tapi juga suara dan cerita dari berbagai pihak yang terlibat, mulai dari siswa, guru, tetua adat, hingga keluarga penampung di kota.

Laporan hasil penelitian mereka mengungkapkan beragam hambatan, seperti kesepian, diskriminasi, hingga rasa putus asa. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana laporan itu menjadi titik awal perubahan. Dengan dukungan penuh dari sekolah dan komunitas adat, mereka mendirikan sebuah organisasi siswa adat yang menjadi wadah aspirasi dan aksi nyata. Lewat organisasi ini, mereka memprakarsai berbagai program yang menguatkan identitas budaya, menyediakan bimbingan belajar, serta memperbaiki hubungan dengan keluarga penampung.

Transformasi Sam dari siswa yang pemalu dan kesulitan membaca menjadi pribadi yang percaya diri dan berprestasi menunjukkan betapa besar dampak pembelajaran yang memberi makna dan pemberdayaan (memberdayakan). Ini bukan sekadar soal akademik, tapi soal membangun kepercayaan diri, identitas, dan harapan. Kisah ini menegaskan bahwa pendidikan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan serta budaya siswa dapat membuka jalan bagi kesuksesan yang sejati.

Praktik seperti yang dijalankan di Timmins patut menjadi contoh bagi sistem pendidikan lain. Memberi ruang bagi siswa untuk bersuara dan mengambil peran aktif dalam pembelajaran bukan hanya mengatasi masalah akademik, tapi juga membangun komunitas sekolah yang lebih kuat dan penuh empati. Pendidikan harus mampu mengangkat potensi setiap siswa, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan, agar mereka bisa menemukan jalan untuk berkembang dan berkontribusi bagi masyarakatnya.

(Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)