Refleksi Pendidikan dari Sydney

Kamis, 28/08/2025 WIB   54
0b7344b52ad9e6cdb00f7afbc53b6c52d26b6fcd

Kunjungan ke Departemen Pendidikan New South Wales, Australia, membuka ruang pembelajaran baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Sejumlah akademisi yang turut menyusun naskah akademik pembelajaran mendalam (deep learning) di Kemendikdasmen, di antaranya Prof. Suyanto, Prof. Ali Saukah, Dr. Kiki Yuliati, dan Prof. Yuli Rahmawati, menyaksikan langsung bagaimana sistem pendidikan dikelola di tingkat negara bagian dengan kewenangan hampir setara kementerian. Sistem ini menekankan pada kolaborasi, refleksi, dan perbaikan berkelanjutan.

Salah satu hal yang paling menonjol adalah budaya refleksi. Guru, kepala sekolah, hingga pejabat pendidikan terbiasa meninjau ulang data dan praktik pembelajaran, lalu menggunakannya sebagai bahan untuk memperbaiki proses. Prinsip yang dipegang sederhana namun bermakna, yaitu data hanyalah angka jika tidak direfleksikan, dan pembelajaran sejati lahir dari proses refleksi itu sendiri. Dari kebiasaan ini, setiap kebijakan maupun kegiatan sekolah dapat diarahkan untuk terus membaik.

Kolaborasi menjadi kunci lain dalam sistem pendidikan New South Wales. Guru tidak dibiarkan bekerja sendiri, melainkan didorong untuk saling mengobservasi, berbagi pengalaman, serta memberi masukan kepada rekan sejawat. Di ruang kelas, budaya keterbukaan ini menciptakan rasa saling percaya. Observasi bukan dianggap pengawasan, melainkan kesempatan untuk bertumbuh. Di Indonesia, praktik ini bisa menjadi inspirasi agar guru tidak lagi merasa terisolasi, tetapi menjadi bagian dari komunitas pembelajaran yang aktif.

Baca juga: Bagaimana sebuah Sekolah di Sydney Menepis Anggapan sebagai Sekolah ‘Tertinggal’ dan 10 Rahasia Keberhasilan Sekolah-Sekolah Berprestasi Tinggi di New South Wales (NSW)

Penerapan explicit teaching atau pembelajaran eksplisit juga memberi pelajaran penting. Guru wajib memberikan penjelasan yang jelas, mendemonstrasikan, dan memodelkan keterampilan kepada siswa. Standar ini berlaku menyeluruh dan tidak bisa ditawar. Dengan demikian, kualitas pembelajaran dapat dijaga agar merata di setiap sekolah. Konsep ini dapat diadaptasi dalam konteks Indonesia, terutama untuk memastikan siswa tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga memahami proses berpikir dan nilai karakter yang menyertainya.

Sistem kepemimpinan di New South Wales menempatkan pimpinan sebagai pihak yang melayani. Bos berada di bawah untuk menopang tim, bukan sebaliknya. Filosofi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang memfasilitasi. Di Indonesia, pola ini bisa menjadi dorongan untuk mengubah persepsi kepemimpinan sekolah dari yang bersifat administratif menjadi kepemimpinan instruksional yang mendukung pertumbuhan guru dan siswa.

Dari sisi penjaminan mutu, asesmen digunakan bukan sekadar sebagai alat pengukuran, melainkan sebagai sarana perbaikan. Tes formatif dan sumatif dipakai untuk memberikan umpan balik nyata. Hasil asesmen dijadikan dasar untuk merancang pembelajaran berikutnya. Jika diterapkan secara konsisten, pendekatan ini dapat membantu Indonesia keluar dari pola evaluasi yang sering kali hanya berfokus pada nilai akhir tanpa memberi ruang perbaikan.

Pengelolaan sekolah di Sydney juga menekankan pentingnya tujuan yang jelas, kriteria sukses yang terukur, serta bahasa yang sama di antara semua pemangku kepentingan. Dengan arah yang seragam, budaya continuous improvement dapat berjalan efektif. Indonesia bisa belajar dari pendekatan ini, khususnya dalam menyelaraskan tujuan antara kebijakan pusat, dinas pendidikan, sekolah, dan guru agar bergerak sejalan.

Tantangan keberagaman yang dihadapi sekolah di Sydney juga relevan dengan kondisi Indonesia. Satu sekolah bisa menampung siswa dari 50 latar belakang bahasa dan budaya berbeda. Namun, hal itu tidak dianggap sebagai hambatan, melainkan peluang untuk memperkaya pembelajaran. Guru dibekali dengan sistem yang mendukung agar mampu melayani semua siswa secara adil. Di Indonesia, keberagaman juga nyata hadir di setiap daerah. Inspirasi dari Sydney menunjukkan bahwa keberagaman harus dikelola dengan kepemimpinan yang visioner dan dukungan kebijakan yang jelas.

Pesan besar dari pengalaman ini adalah bahwa pendidikan yang kuat tidak lahir dari kebijakan semata, tetapi dari budaya kerja yang konsisten. Refleksi, kolaborasi, kepemimpinan yang melayani, serta sistem asesmen berbasis bukti adalah elemen yang dapat diterapkan untuk memperkuat kualitas pendidikan di Indonesia.

Inspirasi dari Sydney menegaskan bahwa guru bukan hanya pengajar, melainkan pembelajar sepanjang hayat. Sekolah bukan hanya tempat siswa belajar, tetapi juga ruang tumbuh bagi guru dan pimpinan. Dan pendidikan, pada akhirnya, adalah kerja bersama yang menuntut keterbukaan, refleksi, dan komitmen untuk terus memperbaiki diri.

(Sumber catatan: Suyanto.id/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

BEL (Bantuan Eksplorasi Laman)