Kualitas pendidikan di Indonesia pernah sangat diperhitungkan di mata internasional, setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Salah satu buktinya, Indonesia pernah ‘mengekspor’ guru ke negeri tetangga, Malaysia, pada periode tahun 1966.
Seperti ditulis tirto.id, guru-guru dari Indonesia yang dikirim ke Malaysia di masa-masa itu, umumnya ditugaskan selama 3 tahun di sekolah-sekolah menengah yang memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Tugas mereka adalah memperbaiki tata bahasa Melayu di kalangan para pelajar Malaysia yang telah terbiasa berinteraksi dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, juga ada upaya memperbaiki kurikulum sains peninggalan Inggris yang dinilai sudah usang.
Namun kisah itu kini hanya cerita lama. Mesti diakui, kualitas pendidikan Indonesia saat ini telah tertinggal dari negara-negara lain, termasuk Malaysia yang pernah belajar dari Indonesia. Salah satu bukti ketertinggalan itu adalah skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang rendah, dan menempatkan Indonesia di tahun 2018 silam, pada posisi ke-74 atau keenam dari bawah.
Ketertinggalan itu pun diakui oleh Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim. Itu sempat disampaikannya dalam dialog bersama Gita Wirjawan yang ditayangkan dalam program EndGame di Channel Youtube Gita Wirjawan, beberapa waktu lalu.
Menurut Mendikbud Ristek, ketertinggalan Indonesia dari negara-negara lain terjadi karena banyak hal. Tentu saja, faktor ekonomi menjadi salah satunya. Namun faktor lain yang lebih berpengaruh adalah cara pembelajaran yang salah, namun tetap dilanggengkan sejak lama.
Salah satu contohnya, memaksakan anak menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung, saat mereka baru memasuki pendidikan dasar, dengan cara memberi tugas dan PR terus menerus.
Baginya, cara yang seperti ini menyebabkan anak-anak mengasosiasikan sekolah sebagai tempat yang menakutkan, penuh dengan tugas. Padahal, sangat penting bagi anak untuk mereka mencintai sekolah, dan menganggap sekolah sebagai tempat yang menyenangkan.
Mungkin dengan cara seperti itu, anak bisa lebih cepat memiliki keterampilan calistung. Dampaknya, di tiga tahun pertama pendidikan dasar, mereka mungkin bisa lebih cepat daripada siswa-siswa di negara lain. Namun ketika menginjak tahun-tahun berikutnya, anak-anak mulai merasa bosan belajar di sekolah. Dampaknya, pertumbuhan yang meroket di 3 tahun awal pendidikan dasar, tiba-tiba saja terjun bebas. Sementara, anak-anak di banyak negara lain, terus mengalami pertumbuhan yang signifikan. Di tahap inilah, Indonesia mulai tertinggal oleh negara-negara lain.
Belajar dari luar
Untuk mengejar ketertinggalan yang telah terjadi, guru menjadi pemain penting. Karena itu, Kemendikbud Ristek pun menggeber program seperti Kurikulum Merdeka yang memungkinkan para guru memiliki kebebasan untuk menciptakan metode-metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak-anak didik.
Selain itu, lewat implementasi kurikulum merdeka, para guru juga diberi ruang untuk saling bertukar pengetahuan satu dengan yang lain. Hal ini diwujudkan dengan hadirnya Platform Merdeka Mengajar. Di platform itu, para guru bisa membagikan praktik-praktik baik yang telah dia ciptakan, agar bisa ditiru, diadaptasi, atau dimodifikasi oleh guru lainnya sesuai kebutuhan. Sebaliknya, guru-guru yang merasa perlu mendapat inspirasi, bisa belajar dari guru-guru lainnya yang berhasil membuat terobosan.
Selain didorong untuk belajar dari para sejawatnya di Indonesia, para guru juga didorong untuk belajar dari praktik-praktik baik yang telah diaplikasikan di negara-negara lain yang kualitas pendidikannya lebih unggul ketimbang Indonesia. Dengan melihat bagaimana pendidikan di negara lain dikelola, guru-guru di negara ini akan bisa menyadari bahwa ternyata apa yang telah dia lakukan selama ini belum cukup. Mungkin mereka merasa bahwa apa yang mereka kerjakan telah berhasil menjadikan sekolah mereka sebagai sekolah favorit. Tetapi apakah data yang ada benar-benar menunjukkan mereka telah berhasil membantu murid (siswa) untuk meningkatkan keterampilan literasi dan numerasinya? Belum tentu juga.
Pendek kata, guru perlu diingatkan agar tidak seperti katak dalam tempurung. Guru harus dikeluarkan dari zona nyamannya. Guru tidak boleh merasa bahwa pendidikan di Indonesia sedang baik-baik saja. Guru jangan terjebak dalam romantisme bahwa Indonesia pernah mengekspor pendidik ke negara-negara lain. Ingat, itu tinggal masa lalu. Saat ini, guru harus diingatkan bahwa kita sudah sangat jauh tertinggal.
Untuk urusan belajar dari negara lain, Mendikbud Ristek pun mengakui ini sesuatu yang perlu. Itu pula yang mendorong pemerintah mengucurkan anggaran besar untuk beasiswa pendidikan ke dalam dan luar negeri. Salah satunya lewat Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Lewat beasiswa ini, pemerintah mengirimkan anak-anak bangsa ke kampus-kampus ternama di luar negeri maupun dalam negeri, serta membiayai segala kebutuhan mereka selama menjalani masa studi.
Tetapi belajar dari negara lain tidak harus dilakukan dengan berkuliah di negara-negara tersebut. Juga tidak harus dengan mengimpor guru-guru dari luar negeri.
Toh, kita sekarang hidup di era informasi. Era ini memudahkan kita untuk mengakses informasi-informasi teraktual tentang apapun, termasuk bagaimana sistem pendidikan di negara lain dikelola.
Untungnya, kesadaran ini sudah mulai terbentuk. Di Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Timur misalnya, telah memfasilitasi hal itu lewat fitur Jelita atau Jendela Literasi Kita. Fitur ini tersedia di laman resmi BBPMP Jawa Timur.

Info terkait: Mendekatkan Dunia ke Kita, untuk Pendidikan yang Lebih Baik
Lewat Jelita, guru bisa mengakses publikasi-publikasi asing (berbahasa Inggris) terkait praktik baik dalam dunia pendidikan di negara-negara lain. Dengan demikian, cakrawalanya pun menjadi semakin luas.
Namun, pada prinsipnya, semua itu adalah ikhtiar agar guru meninggalkan zona nyaman dan menganggap pendidikan kita sedang baik-baik saja.
Semua itu adalah ikhtiar agar guru tidak terjebak di dalam tempurung yang membuatnya merasa sudah mendekati langit, padahal di luar tempurung itu, ada langit yang jauh lebih tinggi dan lebih luas.
Persoalannya, maukah guru melakukannya? Maukah anda?
Anda yang menjawab.
(Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)




