Di tengah dinamika dunia pendidikan yang terus berkembang, hadir sebuah inisiatif sederhana namun bermakna dari SMP Al Hikmah Surabaya. Sekolah ini mengusung semangat membangun karakter siswa melalui pendekatan yang tidak biasa: melibatkan siswa itu sendiri sebagai penggerak kebiasaan baik. Mereka menyebutnya dengan “tutor sebaya”, sebuah metode yang mengubah siswa menjadi pemimpin kecil bagi teman-temannya sendiri.
Menghadapi tantangan implementasi program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, sekolah ini tidak memilih jalan formal semata. Mereka memilih jalan yang lebih membumi, lebih dekat, dan lebih menyentuh sisi sosial anak-anak: menjadikan anak sebagai agen perubahan bagi teman-temannya. Dalam setiap kelas, dibentuk lima kelompok kecil yang terdiri dari siswa-siswa dengan peran saling membimbing.
Abu Said Qhodri, kepala sekolah SMP Al Hikmah, menjelaskan bahwa kelompok tutor sebaya ini memainkan peran penting dalam membudayakan kebiasaan baik. Salah satu contoh nyata adalah program bangun pagi. Dalam program ini, setiap anak dalam kelompok punya tanggung jawab untuk saling membangunkan secara berurutan. Ini bukan hanya tentang disiplin, tetapi tentang saling peduli dan membentuk sistem sosial yang sehat sejak dini.
Melalui kebiasaan sederhana tersebut, anak-anak belajar tanggung jawab sosial. Mereka tidak hanya bangun untuk diri sendiri, tetapi juga untuk membantu teman. Kebiasaan ini, jika dilakukan secara konsisten, akan menumbuhkan kesadaran pribadi yang kuat. Sebab, anak belajar bahwa kebaikan itu bisa dimulai dari tindakan kecil yang dilakukan berulang-ulang bersama.
Agar program ini berjalan efektif, pihak sekolah juga menggandeng orang tua. Melalui komunikasi dua arah, sekolah mengajak wali murid untuk mendukung penuh gerakan ini. Dukungan keluarga menjadi penting agar kebiasaan baik tidak berhenti di sekolah, tetapi terus hidup di rumah. Dengan begitu, nilai-nilai karakter bisa tertanam utuh dalam diri anak.
Tak berhenti sampai di situ, sekolah juga aktif melakukan refleksi dan evaluasi. Setiap semester, bahkan setiap minggu, ada forum koordinasi yang memungkinkan guru, wali kelas, dan siswa saling bertukar informasi. Dalam forum ini, mereka mendiskusikan progres dan kendala yang muncul di lapangan, menciptakan budaya perbaikan berkelanjutan.
Wali kelas menjadi sosok sentral dalam sistem ini. Mereka bertugas mengumpulkan data dari kelompok tutor sebaya dan dari guru PJOK yang menangani program kebugaran. Data ini kemudian menjadi bahan evaluasi dalam rapat mingguan tiap jenjang, di mana setiap anak mendapat perhatian khusus atas capaian dan tantangannya.
Ketika ditemukan ada anak yang masih belum konsisten, seperti belum rutin salat subuh, maka itu menjadi bahan diskusi bersama. Program ini bukan tentang menghakimi, tapi mencari solusi. Pendekatan ini membuat anak-anak merasa didukung, bukan dihakimi. Mereka tumbuh dengan rasa aman, tetapi tetap diarahkan dengan tegas dan penuh kasih.
Program tutor sebaya ini ternyata bukan hal baru di SMP Al Hikmah. Jauh sebelum program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat diluncurkan, pola pendampingan ini sudah dijalankan. Kini, program nasional itu hanya memperkuat kerangka yang sudah ada, menjadikannya lebih terarah dan terstruktur.
Dalam integrasi itu, tutor sebaya bukan hanya menjadi pengingat salat atau kedisiplinan, tapi juga pendamping belajar. Anak-anak membantu temannya memahami pelajaran yang sulit. Mereka belajar bahwa ilmu adalah sesuatu yang harus dibagi, bukan dimiliki sendiri. Ini melatih empati dan kepedulian secara alami.
Queen Risma Setya Azzahra, siswa kelas 9, merasakan manfaat langsung dari program ini. Baginya, 7 kebiasaan yang digalakkan sekolah tidak terasa asing. Ia telah menjalaninya sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Kebiasaan datang pagi dan salat bersama sudah menjadi rutinitas yang ia jalani dengan tulus.
Namun Queen juga jujur, tidak semua kebiasaan bisa dijalani dengan mudah. Ia menyebut program makanan sehat sebagai tantangan tersendiri. Sebagai remaja, godaan untuk mencoba jajanan viral yang tidak sehat kadang membuatnya goyah. Tapi justru di situlah nilai program ini diuji: membentuk kendali diri di tengah dinamika usia muda.
Kendali diri, atau self-control, menjadi poin penting dalam program ini. Bagi Queen, self-control bukan hanya tentang menolak godaan, tetapi juga tentang memiliki panutan. Sosok yang bisa diteladani menjadi jangkar moral di tengah gelombang pilihan hidup yang beragam bagi remaja.
Queen mencontohkan Menteri Pendidikan, Abdul Mu’ti, sebagai sosok panutan yang memberi inspirasi. Baginya, keberhasilan tokoh seperti Pak Menteri menjadi bukti bahwa tujuh kebiasaan baik bukanlah sekadar teori, tapi kunci nyata menuju kesuksesan. Ini menunjukkan bahwa inspirasi bisa datang dari keteladanan, bukan hanya dari instruksi.
Ketika panutan sudah tertanam dalam benak anak, maka kebiasaan baik akan tumbuh dari dalam. Bukan karena perintah, tapi karena keinginan. Dan itulah esensi dari pendidikan karakter sejati: membentuk anak-anak yang ingin menjadi baik karena mereka memahami nilai kebaikan itu sendiri.
Queen menyadari bahwa dirinya tak bisa sendirian dalam menjalankan kebiasaan baik ini. Dukungan dari sekolah dan keluarga sangat menentukan. Lingkungan yang sehat menciptakan ruang aman bagi anak untuk terus belajar dan bertumbuh tanpa rasa takut atau tekanan berlebihan.
Renny Dian Efrilitasari, salah satu wali murid, mengaku sangat mendukung program ini. Baginya, program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat bukan sekadar kampanye formal. Ia melihat langsung bagaimana nilai-nilai itu memberi dampak nyata pada perilaku anak, di sekolah maupun di rumah.
Dukungan orang tua seperti Renny menjadi penguat moral bagi sekolah. Ketika nilai-nilai yang diajarkan di sekolah juga dihidupi di rumah, anak-anak tidak perlu bingung dengan standar ganda. Mereka menemukan konsistensi, dan dari situlah tumbuh kepercayaan bahwa kebaikan memang layak diperjuangkan.
Apa yang dilakukan SMP Al Hikmah menjadi bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Mereka tidak menunggu perintah, tapi mengambil inisiatif untuk menerjemahkan program pusat menjadi gerakan nyata di tingkat akar rumput.
Di sekolah ini, anak-anak bukan hanya menjadi objek pendidikan. Mereka adalah subjek yang aktif, pemilik peran, bahkan pemimpin kecil yang mampu mengarahkan perubahan. Mereka belajar menjadi pemimpin sejak dini—pemimpin atas dirinya sendiri dan pemimpin yang membimbing teman sebayanya.
Mereka tumbuh tidak hanya dengan pengetahuan akademik, tetapi juga dengan kesadaran sosial, tanggung jawab, dan kedewasaan emosional. Pendidikan semacam inilah yang dibutuhkan Indonesia hari ini: pendidikan yang tidak hanya mencetak orang pintar, tapi juga membentuk pribadi yang utuh dari bagi seseorang.
Ketika anak-anak mulai peduli satu sama lain, ketika mereka belajar untuk saling membangunkan, saling mengingatkan, dan saling mendukung—itulah saatnya kita tahu bahwa masa depan bangsa sedang disemai dengan baik.
Dan jika hari ini kita melihat mereka sebagai siswa biasa, maka suatu hari nanti, kita akan melihat mereka berdiri sebagai pemimpin bangsa—dengan karakter kuat, jiwa peduli, dan semangat untuk terus membangun Indonesia yang hebat.
Simak videonya:
Kunjungi web Kemendikdasmen untuk update berita-berita terbaru seputar pendidikan dasar dan menengah
Baca juga beragam konten pengayaan dan kumpulan e-book pendidikan di Jelita (Jendela Literasi Kita)




