Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) bukan hanya menjadi jalan untuk menyiapkan guru yang paham teori dan praktik mengajar, tetapi juga sebagai wahana pembentukan karakter, kepemimpinan, dan dedikasi dalam profesi. Di balik keberhasilan pelaksanaan program ini, terdapat peran sentral Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tidak sekadar menjalankan mandat formal, tetapi menghadirkan inovasi dan ketangguhan di tengah tantangan.
Universitas Negeri Malang (UM) menjadi salah satu contoh institusi yang tidak puas hanya dengan melengkapi syarat akademik. UM mendorong peserta PPG untuk tidak berhenti pada praktik lapangan, melainkan melangkah lebih jauh ke publikasi karya ilmiah. Upaya ini memperlihatkan bahwa calon guru didorong untuk tidak hanya menjadi pelaksana, tetapi juga penghasil pengetahuan.
Untuk mendukung penguatan kapasitas tersebut, UM menyediakan rangkaian pelatihan, workshop, dan pendampingan hingga level publikasi jurnal terakreditasi. Dana riset dan pengabdian masyarakat juga disiapkan sebagai bentuk konkret agar calon guru mampu terlibat aktif dalam kerja ilmiah yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Pendekatan berbeda ditunjukkan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang fokus pada tantangan pembelajaran daring. Tantangan terbesar dalam format ini adalah terbatasnya interaksi bermakna antara peserta dan dosen, yang dapat menurunkan kualitas pembelajaran. UAD merespons dengan desain materi yang lebih interaktif dan dukungan mentor lokal melalui pembentukan klaster wilayah.
Dengan strategi tersebut, proses pembelajaran di UAD tidak hanya lebih adaptif tetapi juga memperkuat jalinan komunitas belajar. Kolaborasi antara peserta dan alumni sebagai mentor memperkuat daya tahan pembelajaran jarak jauh dan menciptakan ruang dialog yang lebih hidup dan terarah.
Di sisi geografis, Universitas Muhammadiyah Makassar (UNISMUH) dihadapkan pada tantangan ketimpangan informasi dan akses, terutama karena banyak peserta berasal dari daerah 3T. Untuk memastikan pemerataan kualitas, UNISMUH menyiapkan program matrikulasi sebagai langkah awal penyamaan pemahaman.
Penyamaan persepsi dan capaian kompetensi sejak awal memberi ruang bagi semua peserta, tak peduli dari mana mereka berasal, untuk tumbuh secara sejajar. Ini memperlihatkan bahwa inklusi bukan sekadar slogan, tetapi diwujudkan melalui mekanisme akademik yang konkret dan terukur.
Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) hadir dengan perhatian terhadap kondisi psikologis peserta. Melalui pendekatan psikopedagogis, UPGRIS berupaya menciptakan ruang belajar yang tenang dan kondusif. Dosen-dosen PPG di UPGRIS pun dipastikan telah memenuhi kualifikasi Lektor Kepala sebagai standar minimal.
Dengan standar dosen yang tinggi, pendampingan akademik menjadi lebih terjamin. Pertemuan rutin pra-ujian yang membahas soal dan strategi menjawab juga dijalankan sebagai bentuk kesiapan mental dan akademik. Hasilnya tercermin pada tingkat kelulusan mahasiswa UPGRIS yang secara konsisten berada di atas rata-rata nasional.
Universitas Negeri Surabaya (UNESA) tampil sebagai LPTK yang menjawab tuntutan zaman dengan semangat kolaborasi dan adaptasi. Di bawah kepemimpinan Rektor Nurhasan, UNESA menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah, sektor industri pendidikan, dan komunitas digital. Pendekatan lintas sektor ini memperkaya muatan PPG dengan literasi digital, kebhinekaan, hingga penguasaan bahasa asing.
Peserta PPG di UNESA tidak hanya disiapkan menjadi guru yang menguasai konten, tetapi juga individu yang siap menjawab kompleksitas dunia nyata. Pendampingan intensif yang dilakukan menjadi fondasi dalam membentuk guru yang tidak gagap terhadap perubahan zaman.
Lima LPTK tersebut—UM, UAD, UNISMUH, UPGRIS, dan UNESA—menjadi contoh nyata bagaimana PPG bisa diselenggarakan secara bermakna. Bukan sekadar formalitas administratif, melainkan sebagai proses strategis dalam membentuk generasi pendidik yang kuat secara keilmuan dan karakter.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memberikan apresiasi khusus atas praktik baik yang ditunjukkan oleh kelima LPTK ini. Penghargaan diberikan dalam momen Tasyakuran Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 sebagai bentuk pengakuan atas dedikasi dan pencapaian mereka.
Tiga aspek utama menjadi dasar penilaian, yaitu penjaminan mutu yang mencakup kapabilitas dosen dan proses pembelajaran, tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel, serta konsistensi proses dari awal hingga uji kompetensi akhir. Kesemuanya mencerminkan keseriusan dalam menyelenggarakan pendidikan guru yang profesional.
Penghargaan ini bukan hanya simbol apresiasi, tetapi pengingat bahwa penyelenggaraan PPG memerlukan ketekunan, inovasi, dan kepekaan terhadap dinamika di lapangan. LPTK yang mampu merespons dengan baik akan menghasilkan guru yang lebih siap menghadapi realitas di kelas dan masyarakat.
Momentum ini juga sekaligus ajakan agar praktik-praktik baik dari kelima LPTK dapat direplikasi secara nasional. Standar tinggi tidak harus menjadi beban, tetapi bisa dijadikan tolok ukur untuk bergerak bersama dalam memperkuat sistem pendidikan guru secara menyeluruh.
Sebab kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru. Dan guru yang bermutu lahir dari sistem pembinaan yang baik, dari lembaga yang tidak hanya menyiapkan secara akademik, tetapi juga membentuk karakter dan kepemimpinan. Itulah investasi jangka panjang yang harus terus dijaga dan diperluas.
(Sumber catatan: Kemendikdasmen/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)
Kunjungi web Kemendikdasmen untuk update berita-berita terbaru seputar pendidikan dasar dan menengah
Baca juga beragam konten pengayaan dan kumpulan e-book pendidikan di Jelita (Jendela Literasi Kita)




