Untuk merealisasikan Asta Cita Presiden dan Wakil Presiden, khususnya Asta Cita ke-4, Memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terus berkomitmen untuk mendorong pembelajaran berkualitas.
Salah satunya, dengan mengukur kemampuan kognitif murid dengan lebih baik. Untuk merealisasikan hal tersebut, ditetapkan kebijakan pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA), sebagaimana dinyatakan dalam Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025.
Pelaksanaan TKA untuk SMA/MA, SMK/MAK/SMALB, Paket C/PKPPS Ulya, dan sederajat sendiri akan diselenggarakan pada tanggal 3–9 November 2025 dan diikuti oleh 3.526.494 murid terdaftar.
Kebijakan pelaksanaan TKA dilatarbelakangi oleh kebutuhan pelaporan capaian akademik individu murid dari penilaian yang terstandar. Tidak tersedianya laporan capaian akademik individu dari penilaian terstandar pada beberapa tahun terakhir menimbulkan beberapa permasalahan.
Permasalahan itu muncul pada situasi ketika perbandingan capaian akademik murid yang berasal satuan pendidikan dilakukan, seperti pada proses seleksi untuk melanjutkan jenjang pendidikan, termasuk Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) yang mengukur potensi kognitif dan kemampuan akademik peserta untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Pada situasi seleksi yang didasarkan pada data dari hasil penilaian masing-masing satuan pendidikan, misalnya data rapor, sering menimbulkan masalah dalam hal obyektivitas dan keadilan.
TKA adalah asesmen standar nasional yang dirancang untuk mengukur capaian akademik murid pada mata pelajaran tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku. TKA bersifat tidak wajib sehingga murid memiliki kebebasan untuk mengikutinya tanpa paksaan, dan ditujukan bagi mereka yang merasa siap serta membutuhkannya.
Pun, TKA diselenggarakan tanpa pungutan biaya. Seluruh proses dibiayai oleh negara atau pemerintah daerah agar setiap murid memiliki akses yang setara tanpa hambatan ekonomi.
Penting untuk dipahami bahwa TKA dimaksudkan untuk melengkapi sistem penilaian yang ada saat ini, tidak menggantikan penilaian oleh satuan pendidikan. Oleh karena itu, hasil TKA tidak menentukan kelulusan seorang murid dari satuan pendidikan. Tidak ada yang berubah, kelulusan murid tetap ditentukan oleh satuan pendidikan masing-masing.
Perbedaan UN, AN, dan TKA
Ujian Nasional (UN) adalah penilaian hasil belajar secara nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
UN bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) secara nasional sebagai tolok ukur mutu pendidikan antardaerah dan sekolah. UN wajib diikuti oleh murid pada akhir jenjang SMP/MI sederajat dan SMA/SMK/MA sederajat.
Meski nilai UN tidak menentukan kelulusan, murid tidak dapat dinyatakan lulus dari satuan pendidikan bila tidak mengikuti UN. Sejak Tahun Ajaran 2020/2021, penyelenggaraan UN secara resmi tidak diberlakukan lagi.
Asesmen Nasional (AN) adalah evaluasi sistem pendidikan nasional yang dilakukan oleh Kemendikdasmen untuk mengevaluasi mutu sekolah dan program kesetaraan, bukan untuk menilai individu murid.
Komponen AN terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Sebagai suatu evaluasi sistem dengan pelaporan pada tingkat satuan pendidikan dan daerah, AN tidak memberi laporan hasil individu murid. AN bertujuan untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, daerah, dan satuan pendidikan, serta memberi umpan balik untuk perbaikan pembelajaran.
Sementara itu, Tes Kompetensi Akademik (TKA) merupakan salah satu bentuk asesmen nasional yang bertujuan untuk mengukur kemampuan akademik murid secara obyektif dan terstandar.
TKA adalah asesmen terstandar untuk mengukur capaian akademik murid dalam mata pelajaran tertentu. TKA juga menjadi jawaban terhadap tantangan penilaian yang beragam antarsekolah dengan menyediakan bentuk penguatan capaian akademik murid yang obyektif dan terstandar.
Secara teknis, TKA bertujuan untuk memperoleh informasi capaian akademik murid yang terstandar untuk keperluan seleksi akademik, menjamin pemenuhan akses murid pendidikan nonformal dan informal terhadap penyetaraan hasil belajar, mendorong peningkatan kapasitas pendidik dalam mengembangkan penilaian yang berkualitas, serta memberikan informasi kepada murid tentang kekuatan dan kelemahan dalam bidang akademik.
TKA merupakan salah satu instrumen penting dalam menilai kemampuan kognitif murid dalam bidang akademik tertentu. Melalui TKA, satuan pendidikan akan memperoleh gambaran obyektif tentang kompetensi kognitif peserta dalam memahami konsep, berpikir kritis, dan memecahkan masalah.
\Namun, di balik fungsi akademiknya, pelaksanaannya sering kali dipersepsikan sebagai momen yang menegangkan, bahkan menakutkan. Sebagian meyakini ketegangan ini dapat mengganggu performa peserta dan mengaburkan nilai sejati dari penilaian. Oleh karena itu, Kemendikdasmen mengarahkan pelaksanaan TKA menjadi proses penilaian akademik yang jujur dan gembira.
Nilai kejujuran dan kegembiraan dalam TKA
Tagline “TKA Jujur, Gembira” menggambarkan paradigma baru bahwa asesmen akademik seharusnya menjadi pengalaman yang membangun karakter dan semangat belajar, bukan sumber tekanan bagi murid.
Nilai kejujuran menjaga integritas pendidikan, sedangkan suasana gembira menumbuhkan semangat belajar dan kepercayaan diri peserta TKA. Secara maknawi, keberhasilan mengikuti TKA bukan hanya berorientasi pada skor atau hasil yang dicapai, melainkan juga pada nilai-nilai kejujuran, integritas, dan kesiapan mental melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
TKA yang dilaksanakan dengan jujur dan gembira mencerminkan karakter unggul murid yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berakhlak dan memiliki kesehatan psikologis yang baik.
Kejujuran adalah fondasi utama dalam dunia pendidikan. Penilaian akademik yang dilakukan tanpa kejujuran akan menghasilkan data dan informasi yang menyesatkan juga tidak mencerminkan kemampuan sesungguhnya. Dalam konteks TKA, kejujuran mencerminkan nilai integritas akademik, yakni kesediaan dan kesiapan peserta untuk mengandalkan kemampuan sendiri tanpa kecurangan.
Dalam pelaksanaan TKA, berbagai upaya telah dilakukan untuk menjaga kejujuran, seperti penggunaan sistem tes berbasis komputer, pengawasan ketat, serta penerapan kode etik peserta tes.
Semua itu bertujuan agar hasil seleksi mencerminkan kemampuan sesungguhnya dan menciptakan keadilan bagi seluruh peserta. Tidak hanya peserta TKA, pendidik, dan penyelenggara, TKA juga berperan dalam menerapkan dan menegakkan nilai kejujuran.
Pengawasan yang baik bukan dimaksudkan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menjamin keadilan dan membangun budaya akademik yang bermartabat. Kemendikdasmen berkeyakinan, kejujuran dalam TKA juga merupakan bagian dari pendidikan karakter bangsa.
Kegembiraan dalam pelaksanaan TKA bukan berarti mengabaikan ketegasan atau disiplin, melainkan menghadirkan suasana yang menenangkan, suportif, dan humanis. Peserta yang gembira akan lebih mudah berpikir jernih dan menunjukkan kemampuan terbaiknya.
Dalam bukunya Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ, Goleman menyatakan bahwa suasana hati yang baik dapat meningkatkan fokus dan kinerja kognitif peserta.
TKA yang gembira dapat dikondisikan dengan menciptakan lingkungan tes yang nyaman, berupa ruang yang bersih, tertata, dan bebas tekanan berlebihan. Pemberian motivasi positif sebelum tes, diyakini akan membuat peserta merasa gembira, percaya diri, dan siap menghadapi tantangan.
Hindari intimidasi atau tekanan yang berlebihan dan menakutkan, baik dari panitia maupun pengawas. Ketika peserta menghadapi tes dengan perasaan tenang dan gembira, maka hasilnya akan lebih mencerminkan kemampuan nyata, bukan sekadar hasil dari tekanan atau kecemasan.
Peran pendidik dan satuan pendidikan
Pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk paradigma baru bahwa TKA bukanlah momok, melainkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan. Guru perlu menanamkan nilai bahwa hasil tes bukan tujuan akhir, melainkan bagian dari proses belajar yang berkelanjutan.
Sementara itu, satuan pendidikan perlu menyiapkan tata kelola tindak lanjut hasil TKA yang transparan, adil, dan edukatif. Misalnya, dengan memberikan umpan balik hasil tes yang konstruktif agar peserta dapat memahami kekuatan dan kelemahannya untuk perbaikan di masa mendatang.
Dengan begitu, hasil TKA betul-betul bisa dimaksimalkan sebagai assessment for learning, penilaian sebagai perbaikan proses pembelajaran. Dalam bukunya Penilaian Hasil Belajar dalam Proses Pembelajaran, Sanjaya menjelaskan bahwa penilaian seharusnya tidak hanya bersifat sumatif, melainkan juga formatif dan reflektif.
Harapan
Pelaksanaan TKA yang jujur dan gembira merupakan cerminan dari pendidikan yang berintegritas dan berorientasi pada pembentukan karakter. Kejujuran meneguhkan nilai moral peserta, sedangkan kegembiraan menumbuhkan semangat belajar yang sehat.
Ketika nilai kejujuran dan kegembiraan berpadu dalam pelaksanaan TKA, maka tidak lagi menjadi stereotipe yang menakutkan dan menjadi beban, tetapi menjadi proses pembelajaran yang bermakna menuju insan Indonesia yang unggul, berkarakter, dan berbahagia.
Dalam konteks penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SNBT di PTN, TKA bukan hanya sekadar alat ukur akademik, melainkan juga instrumen pembentukan karakter calon mahasiswa yang tangguh, jujur, dan bersemangat belajar.
Dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran dan menciptakan suasana gembira, proses seleksi akan menghasilkan mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan emosional. Ini selaras dengan cita-cita pendidikan nasional untuk melahirkan manusia Indonesia yang beriman, berilmu, berkarakter, dan berdaya saing global.
(Direpost dari Kompas.com/Penulis: Moch Abduh, PhD, adalah Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Pendidikan di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)




