Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan pentingnya penataan guru berbasis data yang akurat dan sistem meritokrasi dalam upaya pemerataan layanan pendidikan di seluruh Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan saat membuka kegiatan Sosialisasi Kebijakan Redistribusi Guru ASN Daerah dan Pendidikan Inklusif Regional Jakarta beberapa waktu lalu, tepatnya pada 11 November 2025.
Kegiatan ini dihadiri oleh kepala dinas pendidikan, kepala BKD, serta perwakilan dari pemerintah daerah di berbagai wilayah Indonesia.
Menteri Mu’ti mengingatkan bahwa kebijakan redistribusi guru dan penguatan pendidikan inklusif bukanlah sebuah kebijakan terpisah, melainkan bagian dari upaya mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, yang bertujuan untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada seluruh anak Indonesia, di mana pun mereka berada.
“Semua anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu, tanpa terkecuali,” katanya. Pesan ini menggarisbawahi pentingnya pemerataan pendidikan sebagai fondasi bagi pembangunan generasi muda yang unggul.
Keakuratan data, menurut Menteri Mu’ti, adalah hal yang tidak bisa ditawar dalam upaya reformasi pendidikan ini.
Ia menyebutkan adanya anomali dalam data pokok pendidikan (Dapodik) yang perlu segera diperbaiki, seperti adanya sekolah yang terdata rusak namun dilaporkan dalam kondisi baik, atau guru yang sudah wafat namun masih terdaftar dan menerima tunjangan.
“Kita harus bekerja keras untuk memastikan data yang jujur dan akurat. Jangan sampai ada data yang menyesatkan, atau bahkan guru siluman yang tidak terdata,” tegasnya. Langkah ini, menurutnya, sangat penting agar kebijakan pendidikan dapat diterapkan dengan tepat sasaran.
Pentingnya sistem meritokrasi dalam redistribusi guru juga menjadi sorotan Menteri Mu’ti.
Ia menekankan bahwa penempatan guru harus berdasarkan kinerja dan kebutuhan riil di lapangan, bukan berdasarkan kedekatan pribadi atau kepentingan politik.
“Redistribusi guru bukan hanya soal administrasi, tetapi bagian dari membangun sistem meritokrasi yang akan memastikan guru ditempatkan sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan daerah tersebut,” ujarnya. Melalui sistem ini, diharapkan tercipta pemerataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri.
Kebijakan redistribusi guru yang diterapkan saat ini, menurut Menteri Mu’ti, bukan sekadar langkah pergantian karena perubahan pimpinan. Ini adalah kebijakan jangka panjang yang bertujuan untuk menciptakan layanan pendidikan yang inklusif dan adil.
“Ini adalah langkah strategis yang kami ambil untuk memastikan bahwa pendidikan bermutu dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali,” tambahnya.
Hal di atas mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengatasi ketimpangan pendidikan di daerah-daerah terpencil dan kurang terlayani.
Tidak hanya redistribusi guru, kebijakan pendidikan inklusif juga menjadi fokus dalam pertemuan ini. Menteri Mu’ti menegaskan pentingnya memberikan kesempatan yang setara bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dalam kebijakan ini, guru yang kekurangan jam mengajar akan diberi kesempatan untuk menjadi guru pendidikan inklusif jika memenuhi kualifikasi, seperti memiliki latar belakang pendidikan S1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau mengikuti pelatihan berjenjang di bidang pendidikan inklusif.
“Pendidikan inklusif ini bukan sekadar kewajiban, tetapi juga cara untuk memperluas makna pengabdian guru dalam membangun bangsa,” katanya.
Namun, Menteri Mu’ti juga menyadari adanya kendala kultural yang menghambat pelaksanaan pendidikan inklusif, seperti pandangan negatif terhadap anak berkebutuhan khusus dan perundungan di sekolah.
“Pendidikan inklusif harus dimulai dari perubahan budaya. Semua anak adalah makhluk Tuhan yang mulia dan berhak mendapatkan pendidikan yang baik,” tegasnya.
Menurutnya, perubahan budaya ini sangat penting agar anak-anak berkebutuhan khusus dapat diterima dengan baik di sekolah-sekolah dan tidak menjadi korban perundungan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Dirjen GTKPG), Nunuk Suryani, menyampaikan bahwa kebijakan redistribusi guru dan pendidikan inklusif telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 1 Tahun 2025 dan Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kepmendikdasmen) Nomor 82 Tahun 2025.

Redistribusi guru dilakukan dua kali setahun dengan berbasis aplikasi digital Ruang SDM, yang kini telah digunakan oleh 132 pemerintah daerah dan 10 yayasan pendidikan.
Menurut data yang disampaikan, hingga Desember 2024, terdapat kekurangan 374.154 guru di seluruh Indonesia. Sementara itu, terdapat kelebihan 62.764 guru ASN dan 166.618 guru non-ASN yang tersebar di berbagai daerah.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah juga akan melatih 18.000 guru pendamping khusus yang akan difasilitasi oleh pelatih nasional yang telah disiapkan. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya berupaya meratakan jumlah guru, tetapi juga meningkatkan kualitas pengajaran di seluruh Indonesia.
Kebijakan redistribusi guru dan pendidikan inklusif, menurut Nunuk, adalah dua kebijakan yang saling melengkapi.
Redistribusi memastikan pemerataan tenaga pendidik, sementara pendidikan inklusif menjamin kesetaraan kesempatan belajar bagi semua anak. Ini adalah upaya pemerintah untuk menciptakan sistem pendidikan yang tidak hanya adil, tetapi juga memberikan akses yang sama bagi seluruh masyarakat.
Menteri Mu’ti menutup sambutannya dengan menegaskan bahwa redistribusi guru dan pendidikan inklusif adalah langkah penting dalam memperkuat fondasi layanan pendidikan di seluruh Indonesia.
“Kebijakan ini dibuat untuk kepentingan yang lebih besar, untuk memastikan pendidikan bermutu bagi semua anak Indonesia, memberikan layanan inklusif yang berkeadilan, serta menjamin hak-hak para guru,” pungkasnya.
Hal ini menegaskan bahwa kebijakan pendidikan yang inklusif dan berbasis meritokrasi akan menjadi pilar penting dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
(Sumber catatan: Kemendikdasmen/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Kemendikdasmen)




