Dirjen PAUD Dikdasmen: Stop Asesmen Calistung untuk Semua Anak di PAUD

Dirjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud Ristek, Dr Iwan Syahril PhD selain mengunjungi Kabupaten Magetan dan Kota Blitar, juga mengadakan kunjungan ke Kabupaten Blitar, Jawa Timur beberapa waktu lalu (Rabu, 16/6/2023)

Dalam kunjungan ini, Iwan Syahril didampingi Kepala Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Timur, Sujarno, M.Pd, Kepala Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Provinsi Jawa Timur Abu Khaer dan Kepala BBGP Provinsi Jawa Tengah Darmadi.

Selain bertemu dengan Bupati Blitar Rini Syarifah, Iwan juga menggelar diskusi dengan 150 guru penggerak, kepala sekolah, pengajar  praktik, fasilitator PGP (Program Guru Penggerak) serta sejumlah komunitas belajar di Kabupaten Blitar.

Di kesempatan tersebut, Iwan mengungkap alasan di balik dihapuskannya ujian nasional, dan diganti dengan asesmen nasional.

Menurutnya, bukan hanya ujian nasional itu membuat setres, namun juga membuat ketidakadilan dalam mata pelajaran.

Ujian nasional membuat mata pelajaran seolah-olah ada hirarki. Seperti Matematika, Bahasa dan IPA yang diposisikan di hirarki atas dan pelajaran lain di hirarki menengah hingga paling bawah.

“Sementara dalam kehidupan nyata, semua bidang saling berkontribusi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan  kehidupan. Bahkan, inovasi-inovasi hanya hadir dengan lintas disiplin. Tidak bisa hanya beberapa gelintir bidang yang kita anggap penting. Seni budaya sangat penting, banyak terobosan-terobosan yang dilahirkan dengan memahami seni dan budaya,” terangnya.

Menurut Iwan, jika hanya fokus pada segelintir bidang, maka tumbuh kembang anak akan timpang, tidak seimbang, dan itu sangat berbahaya.

Dalam kesempatan itu, Iwan Syahril juga mengingatkan tentang program Merdeka Belajar episode ke-24, yakni transisi PAUD ke SD yang menyenangkan.

Kebijakan tersebut digulirkan guna mengakhiri miskonsepsi tentang baca, tulis, hitung (calistung) pada PAUD dan SD/MI/sederajat kelas awal (kelas 1 dan 2) yang masih sangat kuat di masyarakat.

Dikatakan Iwan, pengenalan calistung dengan dipaksa, dengan cara anak harus calistung untuk masuk ke SD, tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan dan apa yang dibutuhkan anak.

Iwan lalu mengurai pentingnya keseimbangan pada enam kompetensi. 

Pertama, nilai-nilai agama dan budi pekerti yang perlu ditanamkan sejak awal.

Kedua, bagaimana  anak-anak bisa mengelola emosi. “Ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Bahkan sampai dewasa kalau tidak tuntas, orang dewasa ini tidak bisa mengelola emosi,” sebut Iwan. 

Lalu, ketiga, kemampuan motorik, baik motorik halus dan kasar untuk bisa merawat serta bisa membuat anak-anak mandiri.

Keempat, kemampuan berinteraksi, bahasa, komunikasi yang menjadi pondasi awal.

Kelima, kemampuan kognitif yang  tak hanya mengenal angka dan aksara, tapi kemampuan bisa berpikir serta memecahkan masalah.

“Anak senang untuk bertanya. Anak ini ingin tahu, tapi kalau gak dikembangkan dengan cara yang baik, anak ini malas,” terangnya.

Terakhir, kemampuan pemaknaan terhadap belajar yang positif. 

Kembali ke calistung, Iwan kembali menyerukan untuk adanya penghapusan tes calistung bagi anak TK yang akan masuk ke Sekolah Dasar serta penghapusan asesmen calistung di PAUD.

“Ketika dipaksa calistung apa yang terjadi? mungkin sambil nangis, menjerit hingga bisa calistung. Tapi tanpa kita sadari mereka trauma belajar,” jelas Iwan.

“Ketika dipaksa calistung, anak kecil menyimpan memori bahwa belajar adalah hal yang tidak menyenangkan,” terangnya lagi.

Menurut Iwan, ketika anak sudah mengasosiasikan bahwa belajar tidak menyenangkan, akan terbersit rasa tidak nyaman, yang belum tersembuhkan dengan pemaksaan.

Pada akhirnya nanti, sumber daya manusia yang masuk ke dunia kerja adalah SDM yang  menghindari belajar.

“Dampak calistung ini sangat luar biasa parah dan membahayakan. SDM-SDM kita yang saat ini ternyata hasil belajar tidak menyenangkan akan terus terbawa. Sehingga stop asesmen calistung untuk semua anak di PAUD. Jangan ekspektasi anak-anak di PAUD menggunakan belajar calistung,” katanya.

Lalu apa solusinya? Dengan tegas Syahril menjawab bahwa kurikulum merdeka adalah solusinya.  

“Kalau PAUD ada merdeka bermain, karena bermain adalah belajar, belajar adalah bermain,” tegasnya. (Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Dokumentasi Kegiatan BBPMP Provinsi Jawa Timur)

Bagikan Tulisan