Guru PAUD Harus Bisa Berekspresi di Depan Anak

Ekspresi menjadi bagian yang sangat penting dalam pembelajaran di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hal ini beralasan karena di usia PAUD, anak-anak dalam proses berinteraksi dengan manusia di sekelilingnya melalui berbagai ekspresi.

Karena itu lah, ketika sudah mematapkan diri menjadi bunda atau guru PAUD, maka harus sanggup untuk berekspresi di depan anak didiknya.

Hal itu ditegasnya Itje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia UNESCO dalam Simposium Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan Mewujudkan Generasi Emas yang digelar Pemkab Mojokerto melalui Dinas Pendidikannya di Kabupaten Mojokerto pada Rabu (7/8/2024).

Itje yang sudah 40 tahun lebih menekuni dunia pendidikan juga memberikan contoh bagaimana ekspresi yang harus dimiliki para guru PAUD dengan bercerita.

Itje bahkan mengajak para guru untuk menganalisis penampilannya, mulai dari peran, intonasi, gaya cerita, makna cerita, volume hingga totalitasnya.

Menurut Itje, seorang guru PAUD itu yang diurus anak, bukan hanya siswa atau peserta didik. Dan itu dibutuhkan ekspresi.

Selengkapnya dapat disimak di video berikut:

“Anak usia 4 atau 5 tahun, kalau kita melarang dia naik tangga karena licin.  Ngomongnya tanpa ekspresi: Tok. jangan naik tangga karena tangganya licin. Kira-kira dengar gak anaknya? ya gak dengar,” urai Itje memberi contoh.

Lalu, dimana guru harus belajar berekspresi? Menurut Itje, ekspresi ini tidak diajarkan di kampus.

Belajar ekspresi bisa didapat di manapun berada seperti di dalam ruang pembelajaran, pasar hingga saat berinteraksi dengan tetangga.

Ekspresi juga tidak terikat pada usia. Bisa jadi orang yang lebih tua mampu menampilkan ekspresi yang bisa ditangkap dibandingkan yang lebih muda.

Selain harus pandai berekspresi, guru PAUD juga harus mampu menilai ekspresi dan perilaku dari setiap anak. Hal ini lah yang nantinya menjadi bahan asesmen awal pembelajaran.

Menurut Itje, Ini jauh lebih bermakna dibandingkan anak dinilai berdasarkan lembaran hitungan atau bacaan.

“Proses asesmen di PAUD bukan dikasih lembaran hitungan, bukan lembaran membaca, tapi melihat perilaku si anak. Makanya bapak ibu saya beri contoh seolah-olah saya bercerita. Apa sih yang dilihat? kenapa dianggap memukai? kenapa semua diam dan berpusat perhatiannya kepada saya?,” urainya.

“Jadi ketika melakukan asesmen awal di PAUD, jangan  disodori kertas. Itu seperti jebakan tikus, karena hanya melihat satu aspek anak yang belum tumbuh,” imbuhnya

Menurut Itje, anak PAUD itu ibarat pohon yang masih imut-imut dan baru akan tumbuh. Karena itu, mereka harus dilihat dari banyak aspek dan tidak boleh langsung diberikan label-label tertentu.

Menurut Itje, ketika hanya melihat anak dari satu aspek saja,  maka itu akan menjadi jebakan.

Selama ini, lanjut Itje, seringkali diseragamkan bahwa yang masuk kelas itu siswa, murid atau peserta didik, bukan anak.  Sehingga proses mengurus anak menjadi penyeragaman, yang diakhiri dengan ulangan atau tes.

“Bayangkan kalau informasi, cerita, lagu yang saya sampaikan di kelas, setiap anak punya persepsi berbeda-beda. Itulah sebabnya seluruh pendidik di kelas awal SD atau di PAUD harus memahami siapa muridnya,” tandasnya. (Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Dokumentasi Kegiatan BBPMP Provinsi Jawa Timur)

Bagikan Tulisan