IFP dan Kelas Masa Depan

IFP jadi jembatan menuju pembelajaran yang lebih hidup, imersif, dan relevan.

Indonesia sedang berpacu dengan waktu untuk meraih mimpi besar Generasi Emas 2045. Jalan menuju cita-cita itu tidak mulus. Di balik jargon kemajuan, hasil PISA 2015–2022 menunjukkan stagnasi. Skor literasi, numerasi, dan sains justru cenderung menurun. Indeks kualitas SDM pun masih tertinggal dari banyak negara ASEAN.

Potret ini menimbulkan pertanyaan yang mengguncang nurani. Bagaimana mungkin kita mencetak generasi unggul bila ruang kelas masih tertinggal puluhan langkah? Apakah metode lama sanggup menjawab tantangan anak-anak yang tumbuh dalam arus digital tanpa henti?

Kesenjangan nyata di depan mata. Di kota, anak-anak terbiasa berselancar dengan komputer, gawai, dan internet. Sementara di pelosok, ada sekolah yang bahkan masih kesulitan menyalakan listrik. Jurang ini adalah alarm: digitalisasi pendidikan bukan sekadar opsi, melainkan jalan hidup yang harus ditempuh.

Baca juga: Fitur Ramah Disabilitas Papan Interaktif Digital Mudahkan Belajar Murid Tunanetra

Urgensi IFP

Dalam pusaran perubahan saat ini, muncul secercah harapan. Teknologi interaktif hadir, dan bukan sekadar sebagai perangkat, tetapi sebagai jembatan menuju pembelajaran yang lebih hidup, imersif, dan relevan. Salah satunya adalah papan interaktif digital, atau Interactive Flat Panel.

Pemerintah menyadari pentingnya transformasi digital. Inpres No. 7 Tahun 2025 menjadi tonggak kebijakan percepatan digitalisasi pembelajaran. Salah satu fokus utamanya adalah penyediaan papan interaktif di sekolah. Program prioritas juga diarahkan pada Literasi, Numerasi, Sains, Koding, Kecerdasan Artifisial, yang dibingkai dengan pendekan Pembelajaran Mendalam [Deep Learning].

Di titik inilah Interactive Flat Panel (IFP) menemukan relevansinya. IFP bukan hanya layar besar, tetapi perangkat multifungsi yang memungkinkan kolaborasi langsung, penyimpanan catatan, hingga integrasi dengan aplikasi belajar daring. Secara teknis, IFP memiliki layar multi-touch, resolusi tinggi, bisa terkoneksi internet, dan terhubung dengan platform belajar digital [Rumah Pendidikan].

Contoh penggunaannya sangat beragam. Guru Matematika dapat menampilkan grafik interaktif. Pelajaran IPA bisa menggunakan simulasi laboratorium virtual. IPS bisa memanfaatkan peta digital untuk memahami dinamika geopolitik. Bahkan di kelas Bahasa, siswa bisa menulis puisi bersama langsung di layar. Atau sesekali guru bisa memberi kuis di layar sentuh. Semua ini menjadikan kelas lebih hidup, partisipatif, dan relevan.

Kajian mutakhir semakin menegaskan arah ini. Penelitian Strengthening Digital Literacy in Indonesia (2024) yang dipublikasikan di Science Direct menemukan bahwa kolaborasi dan inovasi sejak dini bisa menjadi fondasi penting bagi pendidikan berkelanjutan.

Sementara itu, studi oleh Lestari, Pudin, dan Wibowo (2024) dalam IJEEPA menegaskan bahwa kebijakan digitalisasi mampu membuka akses pendidikan di desa, meskipun masih dibayangi kendala infrastruktur dan keterbatasan literasi digital guru maupun siswa. Potret ini seolah memberi pesan bahwa perangkat seperti IFP bukan sekadar pelengkap, melainkan harus menjadi bagian inti dari strategi digitalisasi pendidikan.

Kelas Masa Depan

Selain itu, pemanfaatan IFP juga sejalan dengan arah kebijakan pembelajaran mendalam yang dicanangkan pemerintah. Pembelajaran mendalam menuntut keterlibatan aktif siswa, eksplorasi konsep, serta kolaborasi dalam menyelesaikan masalah nyata. IFP menyediakan sarana untuk menghadirkan pengalaman belajar semacam itu, melalui simulasi, diskusi interaktif, dan proyek kolaboratif yang memadukan berbagai mata pelajaran.

Meski perlu diingat, teknologi hanyalah alat. Temuan UNESCO (2024) menegaskan bahwa teknologi pendidikan baru berdampak nyata jika disertai inovasi pedagogis. Setelah Indonesia mendorong platform digital lewat program Merdeka Belajar, ada kenaikan sekitar 14% siswa yang mencapai kompetensi literasi minimum dan 27% di numerasi. Peningkatan itu terjadi karena guru dibekali pendekatan pedagogis baru, bukan sekadar perangkat.

Karena itu, IFP perlu dipahami sebagai hub dalam kebijakan digitalisasi. Ia adalah hub konten digital, menghubungkan guru dan siswa dengan materi Literasi, Numerasi, Sains, Koding dan KA. Ia juga menjadi hub interaksi, memungkinkan kolaborasi real-time di kelas maupun antar sekolah. Lebih jauh lagi, IFP adalah simbol kebijakan digitalisasi yang konkret, wujud dari arah transformasi pendidikan nasional.

Dalam kerangka teori TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge), keberhasilan IFP sangat bergantung pada kemampuan guru memadukan teknologi dengan pedagogi dan konten. Sementara melalui SAMR Model (Substitution, Augmentation, Modification, Redefinition), IFP mampu melampaui sekadar substitusi papan tulis menuju tahap Modification atau bahkan Redefinition, di mana pembelajaran berubah total.

Tetapi tanpa pedagogi yang tepat, IFP bisa saja hanya teronggok di pojokan kelas. Seperti dikatakan Bill Gates: “Technology is just a tool. In terms of getting the kids working together and motivating them, the teacher is most important.” Investasi perangkat harus berjalan beriringan dengan penguatan kapasitas guru. Tanpa itu, perangkat canggih hanya akan jadi pajangan.

Maka penting adanya pelatihan berkelanjutan, pengembangan komunitas belajar guru, dan mentoring. Guru perlu dibekali kemampuan untuk mengintegrasikan IFP ke dalam strategi student-centered learning, project-based learning, hingga blended learning. Dengan begitu, teknologi tidak hanya hadir secara fisik, tetapi benar-benar mengubah cara belajar.

Kelas masa depan tidak lagi identik dengan papan kapur dan spidol. Ia adalah ruang hidup tempat ide-ide lahir, kolaborasi terjadi, dan kreativitas berkembang. IFP menjadi simbol perubahan itu. Sebuah jendela baru menuju dunia belajar yang lebih relevan.

Jika diimplementasikan dengan serius, IFP dapat menjadi kunci mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia. Teknologi ini bukan sekadar layar besar, melainkan sarana membangun generasi yang kritis, adaptif, dan kreatif.

“If we teach today as we taught yesterday, we rob our children of tomorrow.” Kutipan dari John Dewey ini mengingatkan bahwa inovasi pendidikan adalah keniscayaan. Generasi Emas 2045 hanya akan lahir jika pendidikan hari ini berani berubah.

Karena itu, dukungan semua pihak; pemerintah, guru, masyarakat, hingga dunia usaha sangat diperlukan. Dengan papan interaktif sebagai hub digitalisasi, kita bukan hanya mengajar, tetapi menyiapkan anak-anak untuk menjadi pemain utama di panggung global.

(Direpost dari https://analisis.republika.co.id/berita/t2pi0m451/ifp-dan-kelas-masa-depan-part3/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Kemendikdasmen)

Bagikan Tulisan