Ini Era Merdeka Belajar, Jangan Terjebak Pada Urusan Seremonial & Seragam

Beberapa waktu belakangan, kita digegerkan oleh berita seputar sekolah yang menjual seragam dengan harga mahal dan memberatkan orangtua. Banyak sekolah mengatakan bahwa siswa tidak diwajibkan untuk membeli seragam dari sekolah. Namun banyak juga orangtua siswa yang mengaku dipaksa untuk membeli seragam dari sekolah.

Sebelumnya, juga ramai pemberitaan terkait sekolah-sekolah yang diprotes orangtua karena menggelar wisuda yang biayanya terbilang besar dan memberatkan. Banyak orangtua yang menilai, wisuda tidak perlu dilakukan, apalagi di tingkat PAUD, TK, dan SD.

Adanya praktik pungutan seragam hingga gelaran wisuda kelulusan semacam ini menimbulkan keprihatinan karena menjadikan sekolah tidak inklusif. Sebab ketika itu dipaksakan, akan ada anak-anak dari keluarga miskin yang bisa jadi merasa terdiskriminasi karena tidak bisa mengaksesnya.

Bayangkan, bagaimana susahnya orangtua yang miskin, lalu dipaksa untuk membeli seragam dengan harga yang mahal? Atau dipaksa untuk mengikuti wisuda dengan biaya Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu, sementara dengan uang sebesar itu, mereka bisa menghidupi keluarganya selama satu minggu.

Baca juga: Wisuda Sekolah Bukan Kewajiban & Tidak Boleh Memberatkan Orang Tua

Bila ditilik lebih jauh, lebih-lebih di era Merdeka Belajar seperti saat ini, adanya praktik sekolah menjual seragam dan menggelar wisuda ini tidak serta merta menjadikan kualitas pendidikan di sekolah jadi lebih baik. Alih-alih untuk meningkatkan kualitas, hal-hal semacam itu dirasa hanya untuk menaikkan gengsi sekolah. Seolah-olah, sekolah dianggap memiliki prestise karena memiliki seragam yang bagus, atau menggelar wisuda di hotel-hotel berbintang.

Di sisi lain, masih banyak pekerjaan rumah lainnya yang lebih penting digarap oleh sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikannya.

Karena itu, Kemendikbud Ristek pasti menyayangkan bila praktik semacam ini betul-betul terjadi di sekolah. Apalagi, Kemendikbud Ristek sudah memiliki sejumlah peraturan yang dengan tegas melarang adanya praktik-praktik yang memberatkan orangtua.

Misalnya, terkait seragam, sudah ada Permendikbud nomor 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

Di peraturan itu ditegaskan bahwa jenis pakaian seragam sekolah terdiri atas pakaian seragam nasional dan pakaian seragam pramuka. Sekolah juga memiliki kewenangan untuk mengatur adanya seragam khas sekolah.

Namun demikian, pengadaan pakaian seragam tidak boleh diwajibkan dan dibebankan pada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan penerimaan Peserta Didik baru.

Terkait wisuda atau acara-acara lain yang sumber dananya diperoleh dari menghimpun dari orangtua murid, Kemendikbudristek melalui Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menegaskan bahwa kegiatan bersama antara satuan pendidikan yang melibatkan orang tua dapat didiskusikan dan dimusyawarahkan bersama dengan Komite Sekolah. Artinya, sekolah mesti mendengar semua aspirasi orangtua dan tidak memaksakan kebijakannya kepada yang tidak mampu. Kalaupun ada orangtua yang merasa tidak mampu untuk mengikuti wisuda, akan lebih elok agar sekolah tidak memaksakan untuk menggelarnya. Bila itu dilakukan, yang dirisaukan adalah pihak orangtua merasa bahwa sekolah tidak berpihak kepada yang miskin (kurang mampu).

Selebihnya, yang tak kalah penting dari semua ini adalah komunikasi yang positif antara semua pihak, yakni sekolah, komite sekolah, dan para orangtua murid. Sekolah jangan sampai membangun narasi-narasi yang membuat orangtua murid merasa dipaksa untuk mengikuti kebijakan sekolah yang memberatkan. Sekolah juga mesti menghargai pilihan-pilihan yang dimiliki oleh orangtua murid.

Kita berharap, agar hingar bingar seputar sekolah berjualan seragam atau sekolah menggelar wisuda yang memberatkan, tidak lagi terdengar di masa depan. Sebaliknya, agar setelah ini yang banyak terdengar di publik adalah berita-berita seputar prestasi sekolah dan keberhasilan mereka menciptakan pendidikan yang inklusif, yang berpihak kepada mereka yang lemah dan miskin. (Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

Bagikan Tulisan