Koding dan AI Bukan Tentang Tambahan Atau Ikut-ikutan, tapi Sudah Jadi Kebutuhan dan Tuntutan

Kemendikdasmen telah mengambil satu langkah strategis yang menandai babak baru dalam arah pendidikan nasional. Kebijakan untuk mengintegrasikan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (AI) ke dalam kurikulum sekolah bukan sekadar menanggapi tren global, melainkan menjawab kebutuhan zaman yang mendesak.

Kebijakan ini menyiratkan komitmen kuat bahwa dunia pendidikan tak boleh tertinggal dari perkembangan teknologi yang makin pesat. Dunia kerja berubah. Kehidupan sosial berubah. Maka, sekolah pun harus berubah.

Namun, setiap kebijakan besar selalu membawa konsekuensi. Tidak hanya pada level konsep, tetapi juga dalam praktik di lapangan. Dalam konteks ini, kesiapan guru menjadi titik krusial yang tak bisa diabaikan.

Guru bukan hanya pelaksana kebijakan, melainkan penentu arah keberhasilan dari setiap perubahan pendidikan. Mereka harus benar-benar dipersiapkan untuk menjalankan pembelajaran yang aman, nyaman, dan menggembirakan, meskipun materinya rumit dan teknologis.

Sayangnya, tidak semua guru saat ini memiliki pemahaman dan kompetensi yang memadai di bidang koding dan AI. Sebagian mungkin baru mendengar istilah-istilah tersebut, sebagian lagi mungkin masih mencoba memahami peran teknologi dalam konteks pembelajaran.

Meski demikian, perkembangan ini tidak bisa ditunda. Dunia bergerak cepat ke arah digitalisasi. Indonesia tidak bisa tinggal diam jika ingin generasi mudanya kompetitif di kancah global.

Integrasi pembelajaran koding dan AI dalam kurikulum merupakan respons terhadap gelombang besar perubahan yang dibawa oleh revolusi industri 4.0 dan 5.0. Dunia tidak hanya menuntut tenaga kerja, tetapi juga pemikir, perancang, dan pemimpin dengan kemampuan digital.

Tanpa keterampilan teknologi yang kuat, generasi muda akan mengalami kesulitan menghadapi tantangan pekerjaan masa depan. Ini bukan soal ikut-ikutan negara lain. Ini soal bertahan dan memimpin dalam era yang makin terdigitalisasi.

Pembelajaran ini dirancang bukan sekadar mengajarkan teknis pemrograman, tetapi juga menanamkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Literasi digital, pemecahan masalah, hingga etika teknologi menjadi bagian dari isi kurikulum yang diperkenalkan.

Salah satu keterampilan yang ditekankan adalah berpikir komputasional. Sebuah pendekatan sistematis dalam memecahkan masalah yang bisa menjadi fondasi penting, bukan hanya di bidang teknologi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari dan pengambilan kebijakan publik.

Dengan berpikir komputasional, siswa belajar bagaimana memecah masalah besar menjadi bagian-bagian kecil, mengenali pola, melakukan abstraksi, dan menyusun langkah penyelesaian secara logis. Ini bukan hanya keterampilan teknis, tetapi cara berpikir.

Namun, ada pula kekhawatiran yang patut diperhatikan. Di tengah laju digitalisasi, muncul potensi terjadinya isolasi sosial. Teknologi bisa menjauhkan manusia dari nilai-nilai sosial jika tidak dibarengi dengan pendekatan etika.

Oleh karena itu, integrasi pembelajaran koding dan AI juga menempatkan etika digital sebagai bagian penting dari pembelajaran. Murid tidak hanya diajarkan bagaimana menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana bertanggung jawab dalam mengembangkannya.

Pendidikan yang hanya fokus pada keterampilan teknis akan kehilangan ruhnya. Maka, penguatan nilai-nilai humanis menjadi pelengkap yang harus dirancang dalam implementasi kebijakan ini.

Dengan pendekatan menyeluruh, pendidikan digital tidak lagi menjadi hak istimewa, tetapi menjadi bagian dari hak dasar setiap anak untuk mampu menghadapi dan membentuk masa depan mereka sendiri.

Dalam setiap kebijakan publik, basis hukum dan regulasi menjadi landasan yang tak terelakkan. Integrasi pembelajaran koding dan AI memiliki payung hukum yang jelas, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU ini menekankan bahwa pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, dinamika zaman, serta tujuan pendidikan nasional. Maka, kebutuhan terhadap kompetensi digital merupakan bagian dari mandat undang-undang itu sendiri.

Integrasi dilakukan secara bertahap dan sistematis di semua jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA/SMK. Tentu saja, pendekatannya harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik.

Kompetensi yang diajarkan mencakup dasar-dasar koding, algoritma, analisis data, serta pemahaman terhadap sistem AI. Di jenjang lebih lanjut, siswa akan diperkenalkan pada pengembangan program berbasis teks hingga aplikasi AI yang kompleks.

Untuk memastikan pembelajaran ini tidak membebani peserta didik dan sekolah, kementerian memberikan fleksibilitas bentuk implementasi. Sekolah dapat memilih menjadikannya mata pelajaran wajib, pilihan, atau mengintegrasikannya ke mata pelajaran lain.

Pilihan ini bergantung pada ketersediaan guru, sarana prasarana, serta beban belajar murid. Tidak semua sekolah berada dalam kondisi yang sama, dan kebijakan ini mencoba untuk realistis dalam implementasinya.

Metode pembelajaran yang digunakan pun beragam. Bisa melalui pendekatan problem-based learning, project-based learning, inquiry learning, gamifikasi, hingga pembelajaran berbasis perangkat digital.

Media pembelajarannya pun tak harus selalu berbasis teknologi tinggi. Bisa berupa modul interaktif, kartu, papan, dan berbagai alat bantu lainnya yang mendukung proses belajar aktif dan kontekstual.

Yang menarik, pembelajaran ini tidak hanya diberikan dalam sesi intrakurikuler, tetapi juga bisa dikembangkan melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler. Ini membuka ruang yang lebih luas bagi anak untuk bereksplorasi dan berinovasi.

Namun, kebijakan ini tentu tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan keterlibatan semua pihak, dari pemerintah, guru, sekolah, hingga masyarakat luas. Konsep pelibatan semesta menjadi prinsip penting dalam memastikan keberhasilan implementasi sebuah kebijakan.

Sinergi antar pemangku kepentingan akan mencegah tumpang tindih, konflik, dan pemborosan sumber daya. Lebih dari itu, kerja bersama ini akan menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama terhadap arah pendidikan kita.

Kemitraan multipihak menjadi pendekatan yang diutamakan. Dunia industri, akademisi, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil perlu duduk bersama untuk merancang ekosistem pendidikan yang tangguh dan relevan dengan kebutuhan masa depan.

Untuk itu, pemantauan dan evaluasi menjadi hal yang mutlak dilakukan secara berkala. Ini untuk memastikan bahwa implementasi berjalan sesuai tujuan, sekaligus membuka ruang perbaikan ketika ditemukan kendala.

Evaluasi yang baik akan mendorong kebijakan menjadi lebih adaptif dan responsif. Pada akhirnya, semua upaya ini bertujuan melahirkan generasi muda yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan tanggung jawab etis.

Transformasi ini memang tidak mudah. Tetapi jika berhasil dilaksanakan secara konsisten dan inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencetak sumber daya manusia yang mampu bersaing, berkontribusi, dan memimpin dalam dunia yang makin terdigitalisasi.(Sumber catatan: Sindo News atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)

Kunjungi web Kemendikdasmen untuk update berita-berita terbaru seputar pendidikan dasar dan menengah

Baca juga beragam konten pengayaan dan kumpulan e-book pendidikan di Jelita (Jendela Literasi Kita)

Bagikan Tulisan