Global Knowledge – Di tengah semakin menua usia tenaga pengajar di banyak negara OECD, tantangan besar muncul dalam mempertahankan kualitas pendidikan. Sebagian besar guru kini berada di ambang usia pensiun, yang berpotensi menciptakan kekurangan staf yang signifikan (krisis jumlah staf pengajar).
Di Latvia, Lituania, dan Portugal, misalnya, rata-rata usia guru di tingkat pendidikan menengah pertama sudah melebihi 50 tahun. Sementara itu, rata-rata usia guru di negara OECD hanya 45 tahun.
Sementara itu, rata-rata usia guru di negara OECD hanya 45 tahun: jika dibandingkan dengan negara lain atau konteks yang lebih luas, usia rata-rata guru di negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) adalah 45 tahun. Kalimat ini ingin menekankan bahwa meskipun ada negara-negara dengan guru yang lebih tua, rata-rata usia guru di OECD relatif lebih muda, yakni 45 tahun. Kata “hanya” di sini berfungsi untuk memberikan kontras atau perbandingan dengan negara lain yang memiliki rata-rata usia guru yang lebih tinggi (tua).
Masalah ini menuntut langkah cepat dan efektif untuk merekrut generasi baru pengajar (guru-guru muda), sekaligus memastikan mereka mendapatkan dukungan yang cukup untuk menjalankan profesinya dengan baik.
Namun, di balik upaya merekrut guru muda, banyak negara juga menghadapi kenyataan pahit bahwa jumlah guru muda yang meninggalkan profesinya semakin tinggi. Hal ini bukan hanya masalah usia, tetapi juga tentang bagaimana menjaga daya tarik profesi mengajar.
Data TALIS menunjukkan bahwa negara-negara seperti Azerbaijan, Italia, Spanyol, dan Swedia, yang memiliki rata-rata usia guru lebih tua, berhasil mempertahankan guru muda lebih baik. Di negara-negara tersebut, kurang dari 10% guru berusia di bawah 30 tahun berniat meninggalkan profesinya dalam lima tahun ke depan, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Baltik yang persentasenya mencapai lebih dari 50%.
Italia, misalnya, telah mulai mengambil langkah konkret untuk mempertahankan guru muda. Melalui reformasi yang menekankan pada peningkatan stabilitas pekerjaan, jalur karier yang jelas, dan komponen berbasis prestasi dalam gaji,
Komponen berbasis prestasi dalam gaji: bagian dari sistem penggajian yang ditentukan berdasarkan pencapaian atau kinerja seorang guru. Artinya, gaji guru tidak hanya bergantung pada faktor seperti masa kerja atau jabatan, tetapi juga pada sejauh mana guru tersebut berhasil mencapai target atau standar tertentu dalam mengajar, seperti peningkatan kualitas pengajaran, hasil belajar siswa, atau kontribusi lainnya yang relevan dengan tugas mereka. Dengan kata lain, komponen berbasis prestasi memberikan insentif atau penghargaan finansial bagi guru yang menunjukkan kinerja yang baik.
Italia memberikan contoh yang patut ditiru. Program pelatihan profesional yang wajib membantu guru baru mengasah kompetensi dan kepercayaan diri mereka sejak dini. Hasilnya, Italia adalah salah satu dari sedikit negara yang melihat penurunan rata-rata usia guru di sekolah menengah pertama.

Islandia juga menghadapi kekurangan guru, terutama di daerah-daerah pedesaan dan terpencil. Dengan pendaftaran pendidikan guru yang menurun, Islandia merespons dengan meluncurkan program reformasi pendidikan yang fleksibel dan mendukung calon guru secara finansial. Pendekatan ini berhasil meningkatkan jumlah kelulusan guru hingga 160% dalam lima tahun terakhir. Inisiatif seperti ini membuktikan bahwa kebijakan yang tepat sasaran mampu memberikan perubahan yang nyata.
Namun, tantangan serupa tidak begitu mudah diatasi oleh negara-negara Baltik.
Selain usia guru yang semakin tua, mereka juga harus menghadapi kenyataan banyaknya guru muda yang berencana meninggalkan profesinya.
Gaji rendah dan minimnya dukungan turut memperburuk masalah ini. Di negara-negara ini, hanya sekitar 20% guru yang merasa profesinya dihargai oleh masyarakat, sebuah kondisi yang jelas berdampak pada semangat mereka untuk bertahan. Masalah ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa generasi muda kini lebih cenderung berpindah profesi, didorong oleh kemajuan teknologi dan digitalisasi yang membuka lebih banyak peluang kerja yang lebih fleksibel.
Perpindahan guru bukanlah hal yang sepenuhnya buruk. Pergantian tenaga pengajar bisa membawa ide-ide segar dan memfilter keluar guru-guru yang mungkin kurang termotivasi.
Memfilter keluar guru-guru yang mungkin kurang termotivasi: proses seleksi alami yang terjadi ketika guru-guru yang tidak memiliki motivasi atau komitmen yang cukup terhadap profesinya akhirnya memilih untuk keluar atau tidak melanjutkan karier mereka sebagai guru. Dalam konteks ini, “memfilter keluar” berarti menyaring atau mengeliminasi guru-guru yang mungkin kurang berdedikasi atau tidak memiliki semangat dalam mengajar, sehingga yang tersisa adalah mereka yang lebih termotivasi dan berkualitas.
Namun, sekolah-sekolah harus memikirkan cara untuk menarik dan mempertahankan guru-guru berkualitas.
Salah satunya adalah dengan meningkatkan peluang pengembangan profesional bagi guru yang sudah berada di tengah karier mereka. Jalur kemajuan (karir) yang jelas dan kesempatan untuk terus berkembang dalam profesinya akan lebih berkelanjutan daripada sekadar merekrut pengganti.
Di sisi lain, kebijakan untuk menarik orang-orang dari profesi lain juga perlu dipertimbangkan.

Islandia, misalnya, memiliki jumlah guru yang beralih karier tertinggi di dunia, dengan banyak profesional yang masuk ke dunia pengajaran (pendidikan) setelah bekerja di bidang lain.
Opsi pengajaran fleksibel, seperti mengajar tamu atau memberikan pelatihan khusus, bisa menjadi solusi efektif dalam menarik mereka yang ingin berkontribusi meskipun tidak bisa berkomitmen penuh pada jadwal pengajaran tradisional.
Mengajar tamu atau memberikan pelatihan khusus: mengundang atau melibatkan seseorang untuk mengajarkan materi atau keterampilan tertentu dalam kapasitas yang lebih fleksibel atau tidak permanen. Ini bisa berarti bahwa seseorang yang memiliki keahlian di bidang tertentu, seperti profesional atau pakar, diundang untuk mengajar atau memberikan pelatihan tanpa harus menjadi bagian dari staf pengajar tetap.
Kegiatan ini sering disebut dengan istilah mengajar tamu atau guest teaching, yang memungkinkan tamu atau pengajar luar untuk berbagi pengetahuan mereka dengan peserta didik dalam suatu jangka waktu tertentu, seperti seminar, workshop, atau sesi pelatihan.
Sedangkan pelatihan khusus merujuk pada kegiatan yang lebih terfokus untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan dalam bidang tertentu, yang diberikan kepada individu atau kelompok yang membutuhkan pengembangan lebih lanjut.
Selain itu, fleksibilitas dalam dunia pengajaran menjadi sangat penting.
Menurut data TALIS, sekitar setengah dari guru menganggap jam kerja yang dapat disesuaikan dengan tanggung jawab keluarga sebagai hal yang sangat penting.
Maksudnya: para guru ini menganggap fleksibilitas waktu sebagai hal yang sangat bernilai agar mereka bisa menjalankan tugas profesional mereka sambil tetap memenuhi kewajiban dan peran penting mereka dalam keluarga.
Dengan kata lain, mereka menginginkan pengaturan waktu kerja yang lebih fleksibel sehingga dapat mengurangi beban atau stres yang mungkin timbul karena ketegangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan mereka baik secara pribadi maupun profesional.
Pengajaran jarak jauh dapat menjadi solusi di sini, seperti yang dilakukan Singapura dengan menawarkan pembelajaran rumah bagi siswa tingkat menengah dan pra-universitas. Langkah ini memungkinkan siswa untuk lebih mandiri dan memberi guru kesempatan untuk bekerja dari jarak jauh sambil memantau perkembangan siswa secara virtual.

Namun, meskipun fleksibilitas ini meningkatkan akses pendidikan, pengajaran jarak jauh juga menuntut kesiapan guru yang memadai dalam hal keterampilan digital dan manajemen kelas secara online.
Negara-negara yang ingin mengimplementasikan model ini harus memberikan pelatihan yang cukup agar guru dapat memanfaatkan teknologi dengan maksimal. Beberapa negara seperti Jerman, Italia, dan Selandia Baru telah memulai langkah ini dengan mengembangkan kebijakan pendidikan digital yang jelas.
Pada akhirnya, kebijakan pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan harapan bahwa sekolah akan dapat merekrut guru baru saat dibutuhkan.
Ini adalah masalah yang membutuhkan tindakan nyata dari pembuat kebijakan. Jika tidak, sistem pendidikan berisiko menghadapi kekurangan guru yang kronis, yang akan menguras sumber daya dan merugikan masa depan pendidikan serta perkembangan siswa.
Tindakan cepat dan tepat dari para pemimpin pendidikan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tantangan ini bisa diatasi dengan baik.
*Baca selengkapnya di sini
(Direpost dari Jelita (Jendela Literasi Kita)/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)




