Sekolah Wajib Meningkatkan Kompetensi Komunikasi dengan Orangtua Siswa

Seluruh guru di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan kelas awal Sekolah Dasar (SD) harus memahami satu per satu muridnya.  Dan, untuk bisa memahami siapa muridnya, guru harus melakukan komunikasi dengan orangtua.

Hal itu disampaikan Irje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia UNESCO dalam Simposium Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan Mewujudkan Generasi Emas yang digelar oleh Pemkab Mojokerto melalui Dinas Pendidikannya di Kabupaten Mojokerto pada Rabu (7/8/2024).

Di acara yang dihadiri para guru PAUD dan SD di Kabupaten Mojokerto itu, Itje mengatakan tidak ada alasan guru susah berkomunikasi karena orangtua sulit didekati atau tidak mau mengerti pendidikan anaknya.

Menurutnya, sekolah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kompetensi komunikasi dengan orangtua siswa.

“Mari berfokus pada pendidik manusia yang membutuhkan kerjasama antara sekolah dan orangtua plus masyarakat,” ajak Itje dengan bersemangat.  

Selengkapnya dapat disimak di video berikut:

Menurut Itje, komunikasi dengan orangtua harus dilakukan dengan pendekatan lebih humanis secara tidak formal layaknya ngobrol biasa. “Dan ketika bertemu jangan menggunakan baju yang super berbeda dengan mereka,” sarannya.

Komunikasi dengan orangtua ini akan memberikan data yang akurat dari proses asesmen sebelum pembelajaran yang dilakukan oleh guru.

Itje menekankan, asesmen awal pembelajaran itu bukan untuk menguji anak, tetapi melakukan observasi pada anak.

Artinya, guru harus memiliki catatan khusus berisi tentang profil masing-masing anak seperti bagaimana kondisi fisiknya, kebiasaan, ekspresi, kemampuan hingga kondisi keluarganya.

Dari catatan ini, selanjutnya guru harus mulai berpandangan bahwa semua anak butuh dilayani dengan perlakuan yang berbeda-beda. Setelah itu, mulai berpikir untuk bagaimana menyusun prosesnya.

Itje mengingatkan guru untuk tidak terjebak dalam spekulasi, asumsi, dugaan atau tebakan tentang kondisi masing-masing anak.

Menurutnya, ketika guru itu hanya berdasarkan pada asumsi yang tidak selalu benar, maka akan sangat berpengaruh dalam proses mengajar.

Dia mencontohkan, ketika asumsi itu sudah diberikan pada anak, akan mempengaruhi perilaku guru terhadap anak tersebut. Anak yang dianggap pandai di akademik, akan diperlakukan berbeda dengan anak yang kurang pandai. Hal ini justru akan meninggalkan luka batin bagi sang anak.

“Berapa besar luka yang kita tanam di hati anak hanya karena kita tidak melakukan asesmen di awal,” katanya.

Irje juga menekankan bahwa asesmen itu bukan penilaian tetapi penjajagan. “Penilaian itu jebakan tikus. Asesmen sebagai pijakan awal menyusun silabus di sekolah. Jadi setiap anak bertumbuh, itulah pembelajaran berdeferensiasi,” tegasnya. (Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Dokumentasi Kegiatan BBPMP Provinsi Jawa Timur)

Bagikan Tulisan