Rapor Pendidikan bagi pemerintah daerah (Pemda) akan menjadi instrumen penting untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) melalui peningkatan standar pelayanan minimal (SPM).
Tahun 2023 ini, standar pelayanan minimal di satuan pendidikan dan pemerintah daerah berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dijelaskan Ahmad Arif Hermawan Catur, Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo, sebelumnya standar pelayanan minimal hanya difokuskan tentang bagaimana meningkatkan partisipasi, ketersediaan dan kualitas barang serta kualitas pendidikan.
Artinya, satuan pendidikan dan dinas pendidikan hanya memberikan dan melengkapi atau hanya memikirkan bagaimana ketersediaan gedung, bangku serta sarana dan prasarana.
“Sebelumnya, Kasek (kepala sekolah) akan berpikir cari proyek. Misalnya, bagaimana (bangunan) sekolah di tingkat atau di majukan sehingga kalau perlu gak boleh ada jalan di depan,” seloroh Arif saat memberikan pemaparan di acara Advokasi Pemerintah Daerah dalam Pemanfaatan Rapor Pendidikan dan Perencanaan Berbasis Data (PBD) yang digelar oleh Tim PDM 04 Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Timur pada Jumat (28/7/2023).
Kini, lanjut Arif, hal itu tidak akan bisa dilakukan lagi.
“Bukan berarti kegiatan proyek tidak ada. Tapi mindset sudah diubah,” tegasnya.


Simak juga video berikut (di bawah ini):
Baca juga: Kemendikbudristek Kolaborasi Bersama Danone Wujudkan Sekolah Sehat Melalui Program Percontohan
Menurut Arif, saat ini lebih mengutamakan bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas lingkungan sekolah, partisipasi dan kualitas pendidik.
“Bagaiman guru kualitasnya meningkat supaya memberikan pelayanan pendidikan yang baik. Bagaimana iklim sekolah terjaga dengan baik sehingga anak-anak terhindar dari perundungan, pergunjingan, kekerasan seksual dan sebagainya,” terangnya.
Hal ini diwujudkan, misalnya, ketika ada satuan pendidikan yang tidak mempunyai perpustakaan, maka yang diutamakan adalah sisi fungsional dari perpustakaan itu. Jadi, tidak harus membangun perpustakaan, tapi dengan membuat pojok-pojok baca di tiap-tiap kelas.
Contoh lain, misalnya ada SMP yang tidak memiliki laboratorium IPA. Kini hal itu tidak harus dipenuhi dengan membangun laboratorium, namun yang penting adalah mengajak anak untuk melakukan praktik secara langsung.
“Daripada punya perpustakaan tidak dikunjungi, dan punya lab tidak digunakan maksimal. Dengan praktik langsung, itu akan menjadi pembelajaran yang bermakna,” terang Arif.
“Walaupun perpustakaan tidak punya, tapi buku banyak di pojok-pojok baca. Itu lebih baik daripada punya perpustakaan tapi kunjungan tidak optimal,” imbuhnya.
Standar pelayanan minimal yang baru ini juga akan mengubah mindset kepala sekolah untuk tidak selalu terfokus pada pembangunan fisik, tapi bagaimana meningkatkan kualitas pembelajarannya.
“Kepala sekolah tidak lagi berpikir membangun pagar, tapi kalau anak-anak punya integritas baik, maka mereka tidak akan keluar sekolah,” tegasnya.
Dalam Rapor Pendidikan, standar pelayanan minimal di provinsi terdiri dari beberapa indikator, yakni literasi, numerasi, iklim keamanan, iklim kebhinekaan, iklim inklusivitas, tingkat penyerapan lulusan SMK dan angka partisipasi sekolah.
Sementara untuk kabupaten/kota hampir sama, hanya pada poin tingkat penyerapan lulusan SMK diganti dengan pendidikan anak usia dini (PAUD).
Jika ini dilakukan, lanjut Arif, maka indeks standar pelayanan minimal akan meningkat di satuan pendidikan maupun pemerintah daerah. (Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Dokumentasi Kegiatan BBPMP Provinsi Jawa Timur)




