Global Knowledge – Selama ini, sering terdengar klaim bahwa rendahnya hasil belajar siswa disebabkan oleh rendahnya kualitas guru. Asumsi umum yang beredar, negara-negara dengan performa pendidikan terbaik pasti merekrut guru dari kalangan lulusan paling pintar. Namun, data dari Survei Keterampilan Orang Dewasa OECD memberikan gambaran yang lebih kompleks. Tidak ada satu pun negara dalam survei itu yang menunjukkan bahwa guru-gurunya berasal dari sepertiga (1/3) teratas atau terbawah lulusan sarjana. Mayoritas guru berada di posisi menengah. Artinya, guru bukanlah lulusan terbaik, tapi juga bukan yang terlemah secara akademis.
Ini bukan berita buruk, tapi fakta yang membuka ruang diskusi penting bahwa kualitas pendidikan tidak bisa disederhanakan hanya berdasar ke akademik guru. Beberapa negara seperti Jepang, Korea (dalam hal ini Korea Selatan), dan Inggris memang menunjukkan bahwa guru-gurunya memiliki kemampuan numerasi di atas rata-rata, dan hal ini berkorelasi dengan performa baik siswa dalam PISA. Tapi di Singapura, yang juga tampil sangat baik dalam PISA, justru kemampuan numerasi guru-gurunya lebih rendah dari lulusan sarjana lainnya. Sebaliknya, negara seperti Prancis atau Amerika Serikat memiliki guru dengan kemampuan numerasi tinggi, namun performa siswanya biasa saja.
Ada pola, tapi tidak mutlak. Ini menegaskan bahwa keberhasilan belajar siswa bukan semata soal angka-angka kognitif guru. Kompetensi pedagogis, konteks sosial, sistem dukungan, dan penghargaan terhadap profesi guru ikut menentukan. Faktor-faktor ini bisa memperkuat atau melemahkan dampak keterampilan akademik guru terhadap pembelajaran.
Yang tidak bisa disangkal adalah bahwa negara-negara dengan sistem pendidikan unggul punya 1 kesamaan, yaitu mereka menghargai profesi guru secara serius. Mereka tidak hanya fokus menarik lulusan terbaik untuk menjadi guru, tetapi juga menciptakan kondisi kerja yang layak dan menantang secara intelektual. Mereka membangun sistem (model) pengembangan profesional yang kuat, sehingga guru terus belajar, tumbuh, dan menjadi lebih baik dalam mengajar.
Sebaliknya, jika standar masuk ke profesi guru terus diturunkan, rasa percaya diri guru pun tergerus, dan kebebasan mengajar diganti dengan instruksi preskriptif seperti pengajaran yang sangat kaku, seragam, dan ditentukan dari atas, baik oleh kurikulum, buku teks, atau kebijakan dengan ruang yang sangat terbatas bagi guru untuk menyesuaikan pengajaran dengan kebutuhan dan konteks siswa. Misalnya:
- Guru harus mengikuti langkah demi langkah yang sudah ditentukan tanpa bisa berimprovisasi.
- Semua siswa menerima materi dan metode yang sama, tanpa mempertimbangkan kemampuan, minat, atau gaya belajar mereka.
- Guru berperan lebih sebagai “penyampai konten” ketimbang sebagai fasilitator pembelajaran yang aktif.
Bila itu yang terjadi, pendidikan akan masuk ke dalam spiral menurun. Guru terbaik akan pergi, dan yang tersisa adalah mereka yang bertahan karena terpaksa, bukan karena panggilan atau komitmen.
Jadi, kuncinya bukan semata menarik lulusan terbaik, tapi menciptakan ekosistem kerja yang membuat orang-orang terbaik (termasuk baik) dan berbakat ingin menjadi guru, dan ingin tetap menjadi guru. Jika negara ingin pendidikan membaik, maka mereka harus berhenti menyalahkan guru, dan mulai membangun profesi guru sebagai pekerjaan strategis yang menantang dan dihormati. Tanpa itu, upaya meningkatkan kualitas belajar siswa akan terus tertahan di permukaan.
(Sumber: Jelita (Jendela Literasi Kita)/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)